Dalam kerangka kehidupan bersama sebagai suatu bangsa, peranan gereja dalam kontribusinya pada masyarakat dan negara sangat penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Akan tetapi, pertanyaan yang timbul saat ini sejauh mana gereja telah memainkan peranannya tersebut dan puaskah gereja dengan perannya selama ini sebagai warga negara pada umumnya, yang kerap hanya menjadi pelengkap penyerta atau bahkan sekedar menjadi pelengkap penderita.
Bukankah gereja memiliki keyakinan yang spesifik yaitu kasih yang jusrtru dibutuhkan bangsa dan negara yang dewasa ini tengah dihadapkan pada kondisi terpuruk akibat dominasi perilaku egois dan pragmatis? Ataukah gereja juga telah terperosok pada perilaku yang sama? Bukankah harus juga diakui bahwa gereja pada kenyataannya juga terdiri atas berbagai kelompok yang beragam, yang mana keberagaman itu juga membawa konsekuensi pada adanya kebergaman interpretasi terhadap ajaran utama yang satu yakni kasih.
Atas dasar uraian dan konstatasi di atas,dalam seminar Gerejak dan Politik bertemakan “Pandangan Gereja dalam Mewujudkan Cita-Cita Bangsa” yang digagas oleh Partai Demokrasi Kebangsaan Bersatu (PDKB) pada (20/5) lalu di Hotel Sultan, Jakarta berupaya untuk mencari cara bagaimana menginterpretasikan dan memformulasikan Kasih Allah tersebut dalam butiran nilai-nilai yang hendaknya menjadi pedoman bagi upaya bersama sebagai umat Kristiani dalam mewujudkan tujuan nasional bangsa.
Diharapkan untuk para pemimpin gereja di Indonesia dapat ikut serta membantu merumuskan pandangan bersama tentang apa yang seharusnya menjadi pedoman dalam berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. "Wujud perlindungan yang bagaimanakah yang seharusnya diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada segenap rakyatnya."
Dalam sesi diskusi dalam seminartersbut menghadirkan pembicara antara lain: Pdt. A.A. Yewangoe (Ketua Umum PGI), Pdt. Nus Remas (Ketua Umum PGLII), Romo Madya (KWI), Harry Tjan Silalahi SH., Jeiry Sumampow S.Th, Drs. Sebastian Salang, dan Seto Harianto (Ketua Umum DPP PDKB). Dengan dimoderatori oleh Cornelius Ronowidjojo (PIKI).
Pdt. A.A. Yewangoe dalam pemaparannya mengatakan bahwa Gereja mempunyai tanggungjawab politik dalam arti turut serta secara aktif di dalam mengupayakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Repunlik Indonesia 1945 dengan memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan (justice), dan kasih (love), sebagaimana termaktub dalam Pokok-Pokok Panggilan Berama (PTPB) yang merupakan pedoman resmi keesaan gereja-gereja di Indonesia (yang tergabung dalam PGI).
Orang Kristen terpangil untuk membangun kesejahteraan dimana mereka berada, karena kesejahteraan mereka adalah kesejahteraan kita, menjadi kesejahteraan bersama (Yeremia 29:7). Dengan kata lain umat Kristiani harus menjadi garam dan terang di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tujuan nasional bangsa Indonesia yang dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diartikan bahwa tujuan nasional bangsa Indonesia adalah agar seluruh rakyat Indonesia dapat menikmati kemerdekaan sejati dengan mewujudkan sebuah masyarakat yang adil, makmur, cerdas, terbuka kepada dunia. Atau dengan kata lainnya terciptanya civil society di Indonesia.
Pdt. A.A. Yewangoe juga memamparkan bahwa dalam kehidupan bernegara, rakyat pun memiliki tanggungjawab di dalam berhadapan dengan kekuasaan. Dalam artian bahwa rakyat harus memiliki sikap kritis. Akan tetapi, apabila rakyat menyampaikan suara kritis kepada pemerintah hendaknya bukanlah pertama-tama untuk menjatuhkan pemerintah, atau sekedar mengeritik, melainkan untuk menempatkan pemerintah selalu pada jalur yang benar, yakni untuk mencapai tujuan nasional.
“Pemerintah yang steril terhadap kritik, justru membunuh dirinya sendiri, dan menghalangi perwujudan nasional bangsa.”
Di lain sisi, melihat realita yang ada saat ini, terutama menjelang pilpres, Praktek “money politic” di Indonesia pada pemilu kali ini dinilai begitu vulgar terjadi, yang mana menurut Sebastian Salang (Parlemen Watch) hal tersebut tidak dapat dihindari dan diatasi, ketika konflik kepentingan lebih dominan berperan.
Isu-isu seperti primordialisme, idiologi, agama, dan gender yang diperkirkan mewarnai suasana pemilu kali ini justru tidak muncul dan tidak diminati masyarakat dalam menentukan pilihannya,”ujarnya.
Kembali pada peran gereja dan kontribusinya di bidang politik dan pencapaian tujuan bangsa, Harry Tjan Silalahi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) berpendapat bahwa gereja harus mempersiapkan anggota-anggotnya di dalam masyarakat dengan kualitas yang lebih tinggi dari yang lainnya sebagai wujud nyatanya bagi bagi negara.
Harry Tjan juga menyatakan bahwa gereja harus menjadi wadah yang menyediakan “Think Tank” dan menjalankan fungsi kontrol dalam masyarkat dan negara, yang mana gereja harus mempersiapkan dan mebekali kaum mudanya untuk memiliki kualitas yang lebih tinggi, karena ditangan merekalah nantinya masa depan bangsa Indonesia, maju mundurnya ditentukan.
Christian Solidarity Worldwide (CSW), sebuah organisasi hak asasi manusia, baru – baru ini kembali dari kunjungannya selama tiga minggu ke Asia Tenggara dengan membawa bukti-bukti terbaru...