JAKARTA - Dalam rangka memperingati 10 tahun wafatnya Y.B. Mangunwijaya, Dewan Kesenian Jakarta bekerjasama dengan Goethe Institut, Harian KOMPAS, Gramedia, dan Perhimpunan Alumni Jerman, Senin (4/5) lalu menggelar acara Diskusi dan Pameran bertajuk: “Romo Mangun, Antara Sastra dan Arsitektur”, bertempat di Goethehaus, Jakarta.
Dalam acara diskusi tersebut menghadirkan dua orang pembicara, yakni: Romo Mudji Sutrisno, seorang rohaniawan, budayawan sekaligus pengajar di STF Driyakara, yang mana akan lebih memberikan gambaran sosok Y.B. Mangunwijaya dalam perspektif sastra dan budaya. Dan pembicara kedua adalah, Erwinthon P. Napitupulu, Arsitek, yang juga merupakan pendokumentasi karya-karya wastu Y.B. Mangunwijaya.
Sosok Y.B. Mangunwijaya yang akrab dipanggil Romo Mangun, dikenal memiliki banyak sebutan, yakni sebagai seorang rohaniawan, budayawan, sastrawan juga sekaligus juga seorang arsitektur.
Sepuluh tahun sudah sejak Romo Mangun meninggal pada 10 Februari 1999, ternyata meninggalkan banyak warisan sejarah yang berharga, terutama dalam bidang sastra dan arsitektur yang di ukir pada masa hidupnya.
Dalam dunia sastra, novel-novel karya Romo Mangun banyak memberikan kepada pembacanya kesempatan untuk menikmati kompleksitas persoalan dan seni menuliskannya. Bukan hanya politik sebagai muatan sastra yang penting, tetapi juga sejarah, relijiusitas, ketegangan
Melalui novel sebagai corong refleksi pemikiran dan perasaan, Romo Mangunwijaya mengajak semua orang untuk menaruh keprihatinan serikatus mengenai wujud masyarakat Indonesia; hubungan antar sesame manusia, hubungan dengan masyarakat dan bagaimana hidup yang bertolak dan berdasar pada nilai.
Dalam hidupnya, Y.B. Mangunwijaya memiliki keinginan untuk dapat menjadi seorang guru dalam arti yang sebenarnya, yakni sebagai seorang guru bangsa.
Sebagai seorang guru bangsa, Romo Mangun memiliki keprihatinan yang besar mengenai negara sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai kemanusiaan.
Romo Mangun melihat rumah bangsa yang disimbolkannya sebagai sarang burung-burung Manyar dalam karya sastranya yang terkenal berjudul “Burung-burung Manyar” yang ditulis tahun 1981, menurutnya, rumah atau struktur bangsa ini jika perlu harus dirombak total setiap kali dengan revolusi untuk mendapatkan orang dan sistem kultur yang benar-benar merdeka dan demokratis.
Mangunwijaya melihat bahwa bangsa ini hanya akan menjadi dewasa apabila: pertama, masing-masing pribadinya, sampai mencapai kedewasaan jati diri yang berbudi cerah dan bernurani hening serta bersosialisasi saling menghormati agama dan kemajemukan sesamanya.
Kedua, kondisi untuk memproses kedewasaan individu ini adalah pendidikan yang dimulai dengan edukasi dasar untuk memproses tiap orang menjadi dirinya sendiri.
Generasi muda yang oleh Y.B. Mangunwijaya disimbolkan dengan “manyar-manyar baru bangsa Indonesia” dalam karya sastranya, mempunyai tugas dan panggilan untuk merombak sarang kebudayaan, tata ekonomi dan sosial mumpung dan korup
Pembangunan “sarang burung” ini amat ditentukan oleh kualitas manusia-manusia matang yang mampu hidup atas dasar jati dirinya.
“Sarang burung Manyar” ini cara membangunnya menuntut keberanian untuk membongkar mentalitas lama demi terjaminnya citra jati diri, yang dalam bahasa arsitktur oleh Mangunwijaya dirumuskan sebagai “wastu citra”, artinya; dimensi kejiwaan yang bersumber pada jati diri manusia sang pembangun. Mangunwijaya meyakini bahwa setiap bangunan tidak cukup hanya mempunyai dimensi guna, praktis, manfaat saja, melainkan juga tharus mempunyai dimensi citra yang mewartakan mental dan jiwa pembuatnya.
Romo Mangun juga menyebutkan bahwa ada beberapa hambatan kebudayaan, mentalitas lama yang mesti dibongkar yakni: feodalisme dan fasisme, struktur kekuasaan dan penggunaan kekuasaan yang anti emansipasi, kuasa hirarkis dimana rakyat hanya bisa tunduk saja, serta nasionalisme sempit dengan kepentingan kelompok tertentu yang masih diubah menjadi nasionalisme kearah kemanusiaan.
Menurutnya, dalam membangun negara sangat penting untuk memperhatikan kualitas orang-orangnya, mekanisme demokrasi,politik yang “fair play” sebagai negarawan-negarawan.
Dalam dunia arsitektur, Romo Mangun bukan hanya membuat dan mendesain gereja, dimana dalam konsep dan wujud fisiknya, bangunan gereja karya Romo Mangun berupaya untuk mewadahi jemaat dalam penghayatan pada kehidupan nyata bersama orang lain, selain penghayatan pada teologi.
Masih banyak karyanya yang lain, termasuk diantaranya membuat dua buah bangunan mesjid yang membuatnya memperoleh Aga Khan Award for Architecture (in the Islamic World).
Seorang fotografer fashion veteran yang karyanya biasa ditampilkan di majalah Vogue, GQ dan Elle, akan merilis koleksi berjudul "Journeys with ...