Korban banjir mengumpulkan barang-barang yag dapat digunakan kembali dari rumah mereka yang rusak di Vijayawada di negara bagian Andhra Pradesh 285 kilometer dari Hyderabad, India, Kamis 8 Oktober 2009. Ribuan penduduk di India selatan yang terlantar akibat satu minggu banjir kembali ke rumah dan pertanian mereka untuk memeriksa kerusakan yang disebabkan bencana alam yang menewaskan sedikitnya 269 orang, kata pihak berwenang Rabu. (Foto: AP Images / Mahesh Kumar A.)
Suatu konfederasi Katolik yang terdiri dari kelompok-kelompok bantuan, pembangunan dan pelayanan sosial mengatakan dampak keras dari perubahan iklim telah menjadi kenyataan sehari-hari bagi masyarakat miskin di 200 negara yang mereka layani.
Saat ini, mereka memperingatkan, perubahan iklim merongrong karya kemanusiaan dan pembangunan dari dengan 164 anggotanya dan memberikan ancaman peningkatan angka darurat di masa depan.
Dalam sebuah laporan baru yang dirilis menjelang KTT Iklim Kopenhagen pada Desember, Caritas Internationalis mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk mengadopsi sebuah perjanjian hukum efektif yang mengikat untuk memotong emisi gas rumah kaca dan meningkatkan bantuan keuangan dan teknologi untuk negara-negara miskin sehingga mereka dapat beradaptasi dengan kondisi iklim yang lebih berat.
Laporan juga menyatakan kalau negara-negara miskin membutuhkan dukungan untuk dapat berkembang secara berkelanjutan sehingga tidak memperparah dampak perubahan iklim. Di luar Kopenhagen, laporan itu percaya kalau pergeseran seismik dalam pola hidup sehari-hari akan menjadi kunci utama untuk memerangi perubahan iklim.
"Laporan 'Keadilan Iklim: Mencari Sebuah Etika Global Baru' mengembangkan argumen moral yang jelas berdasarkan Alkitab dan Ajaran Sosial Katolik yang berusaha untuk mengatasi kepentingan sempit pribadi dan nasional demi kepentingan umum dan ini akan mendorong tindakan politik dan sosial," kata Presiden Caritas Internationalis Kardinal Oscar Rodriguez Maradiaga.
"Pembicaraan PBB mengenai perubahan iklim di Kopenhagen pada bulan Desember akan menawarkan kesempatan satu-dalam-generasi bagi pemimpin dunia untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk merespon tantangan perubahan iklim," tambahnya.
"Ilmu pengetahuan dan ekonomi mengenai apa yang harus dilakukan sudah jelas, tapi agar setiap perjanjian baru dapat sukses ini harus mengarah pada gaya hidup yang lebih sederhana bagi kita semua."
Menurut Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim, 2009 adalah tahun penting dalam upaya internasional untuk mengatasi perubahan iklim.
Pada bulan Desember, delegasi pemerintah nasional yang sepakat membentuk respons internasional yang ambisius untuk perubahan iklim di tahun 2007 akan bertemu di KTT akhir tahun di Kopenhagen, di mana mereka akan berusaha menyetujui perjanjian iklim pra 2012 yang akan menggantikan Protokol Kyoto saat ini.
Di bawah kesepakatan saat ini, 37 negara industri diwajibkan untuk memotong total emisi sebanyak 5 persen dari 1990 sampai 2012. Berdasarkan deklarasi yang diberikan negara-negara kaya saat ini, World Wildlife Fund for Nature memperkirakan total emisi yang harus dipotong akan menjadi 10 persen pada tahun 2020.
Akan tetapi menurut beberapa ilmuwan, negara-negara industri harus mengurangi emisi sebesar 25 sampai 40 persen dari level 1990 sampai 2020 untuk mencegah bencana-bencana iklim, seperti banjir pantai dari kenaikan permukaan laut, peristiwa cuaca yang parah, dan variasi curah hujan dan suhu yang akan mempengaruhi pertanian dan menghapuskan spesies tanaman dan hewan.
Beberapa kelompok menyalahkan eskalasi bencana alam baru-baru ini di Asia Selatan karena efek dari perubahan iklim, mendorong negara-negara Asia seperti Filipina untuk mendesak negara-negara kaya menguatkan pemotongan emisi. Dalam beberapa minggu terakhir, tangan kelompok-kelompok bantuan internasional penuh dengan bencana termasuk gempa-tsunami yang melanda Samoa Amerika, Samoa dan Tonga; topan yang membanjiri lebih dari 80 persen ibukota Filipina, Manila dan kerusakan parah lebih dari 150.000 rumah provinsi Quang Nam di Vietnam; dua gempa kuat yang melanda Indonesia, menewaskan sedikitnya 784; dan bencana banjir di India Selatan, di mana jutaan penduduk desa miskin akan menghadapi kekurangan makanan.
Sebelum laporan Caritas, Sekretaris Jenderal Caritas Lesley-Anne Knight mengutip ensiklik terbaru dari Paus Benediktus XVI, "Caritas in Veritate," di mana Paus mendefinisikan solidaritas sebagai "yang pertama dan terutama adalah rasa tanggung jawab semua orang yang berkaitan dengan semua orang."
Menginginkan kebaikan bersama dan berusaha ke arah itu, tulis Paus, "adalah persyaratan keadilan dan amal."
Menambahkan itu, Knight berkata, "Kemenangan atas perubahan iklim ada harganya, dan bagian terbesar harus dibayar dengan tepat oleh mereka yang paling menikmati pertumbuhan dan pembangunan yang menyebabkan perubahan iklim."
Saat ini, penghasil terbesar emisi gas rumah kaca di dunia adalah Cina, diikuti Amerika Serikat, Rusia dan India. Jepang, ekonomi terbesar kedua di dunia, menempati peringkat kelima dalam daftar yang dirilis minggu lalu oleh International Energy Agency.
Dalam laporan lembaga berbasis di Paris itu, yang bertindak sebagai penasihat kebijakan energi bagi 28 negara anggota Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), mendesak negara-negara anggota untuk melakukan investasi dalam energi terbarukan, biofuel dan tenaga nuklir untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca.
Mereka juga mendesak negara-negara anggota untuk mengadopsi suatu sistem perdagangan karbon di sektor industri mereka dan meminta partisipasi negara non-anggota OECD dalam proyek pengurangan karbon mulai tahun 2020.
Penginjil Amerika Serikat Franklin Graham mengalami "percakapan yang cukup ramah" dengan menteri luar negeri Korea Utara hari Rabu, lapor kantor ...