Sidang Pendahuluan permohonan uji UU Pornografi, Senin (23/3) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (Foto: Dok MK)
Sidang Pendahuluan permohonan uji UU Pornografi, Senin (23/3) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (Foto: Dok MK)
JAKARTA - Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Perkumpulan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), The Wahid Institute Foundation, Gerakan Integrasi Nasional (GIN), Yayasan Anand Ashram, dan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, serta beberapa perorangan warga negara Indonesia, Senin (23/3) mendatangi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) guna mengajukan Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK membatalkan pemberlakuan Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 43 UU Pornografi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Melalui kuasa hukumnya yang tergabung dalam Tim Adokasi Bhinneka Tunggal Ika, para pemohon menyatakan bahwa definisi “pornografi” yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi tidak memberikan kepastian hukum karena memuat pengertian yang sangat luas dan bahkan tidak mencerminkan kata pornografi itu sendiri.
Selain itu, Pasal 1 angka 1 juga berpotensi membuat karya yang dihasilkan para seniman dan bentuk informasi atau pesan yang disampaikan melalui media komunikasi dapat dengan mudah dikategorikan sebagai sesuatu yang bermuatan pornografi. Mengingat hal tersebut para pemohon memandang ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 telah melanggar Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28F UUD 1945.
UU Pornografi dianggap telah menyebabkan adanya marginalisasi dalam kelompok masyarakat.
“Padahal, prinsip-prinsip hukum itu seharusnya jelas, mudah dipahami dan diterapkan,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Zainal Abidin, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang berlangsung di ruang sidang panel MK dengan tiga orang Hakim Panel yakni H.A. Mukthie, Fadjar, H.M. Akil Mochtar, dan Maria Farida Indrati selaku ketua Hakim Panel.
Rumusan Pasal 20 dan Pasal 21 UU Pornografi yang membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pencegahan pornografi dinilai berpotensi menimbulkan konflik horizontal dengan adanya kelompok masyarakat yang melakukan tindakan atas nama “pembinaan”. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya atau berkurangnya jaminan atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karenannya, para pemohon meminta kepada Majelis Hakim untuk dapat mengabulkan permohonan mereka secara keseluruhan serta menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 43 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kemudian, Pasal 43 yang mewajibkan semua orang untuk memusnahkan semua produk pornografi meski untuk kepentingan sendiri, dianggap sulit terimplementasi karena tidak ada sanksi yang jelas bagi yang tidak melakukannya.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan kali ini, Maria Farida Indrati menasehati Pemohon agar memperbaiki legal standing dengan memperjelas kerugian konstitusional para Pemohon, karena kejelasan legal standing Pemohon adalah kunci pengujian UU.
“Alat bukti, kliping-kliping, dan hal-hal terkait legal standing perlu dilengkapi semua,” tambah Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar.
Permohonan serupa mengenai uji Undang-Undang (Judicial Review) beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), UU a quo juga pernah diajukan oleh sekelompok masyarakat dari Sulawesi Utara.
Rencananya, kedua permohonan tersebut akan digabung dalam sidang pemeriksaan pendahuluan berikutnya, dua minggu mendatang, “terang Pdt. Gomar Gultom dari PGI.
Meskipun banyak orangtua yang mengatakan mereka mencoba memperbaiki kemampuan mereka sebagai orangtua, namun hanya sedikit yang melihat pada Alkitab atau mencari bimbingan melalui gereja,...