JMP dan Universitas Sanata Dharma Gelar Kursus Teologi Feminis
Penyelenggara mengatakan bahwa ini merupakan kursus teologi feminis yang pertama di tanah air.
Wednesday, Jun. 1, 2005 Posted: 12:26:30PM PST
Jaringan Mitra Perempuan (JMP) Yogyakarta dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengadakan kursus teologi feminis untuk meningkatkan refleksi teologis dan kesetaraan gender di kalangan kaum perempuan Katolik di tanah air.
"Sosialisasi gender biasanya lantas mandeg karena kaum perempuan, khususnya kaum feminis, tidak menguasai teologi," kata Augustin Nunuk P. Murniati, Ketua JMP Yogyakarta, kepada UCA News.
"Kaum perempuan harus tahu benar apa yang dikatakan Kitab Suci tentang perempuan," lanjut Murniati yang menggagas dan mengadakan kursus tersebut.
Kursus yang diadakan selama 18 kali pertemuan sejak 29 April hingga 18 Juni itu, diikuti 52 peserta antara lain ibu rumah tangga, mahasiswi, wanita karir, pekerja sosial, dan suster.
Penyelenggara mengatakan bahwa ini merupakan kursus teologi feminis yang pertama di tanah air.
JMP, bagian dari jaringan nasional yang dibentuk oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), telah memperkenalkan teologi feminis kepada kaum perempuan sejak 2000 dengan mengadakan sejumlah diskusi tentang berbagai topik seperti "Percakapan Perempuan dengan Allah" dan "Perempuan Membaca Kitab Suci," yang kini merupakan bagian dari kursus tersebut.
"Perempuan Berteologi," topik baru yang akan dimasukkan dalam kursus itu, berdasarkan pada pengalaman konkret peserta, kata Murniati. "Selama ini, teologi selalu bertolak dari pengalaman laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai subordinat," lanjutnya.
"Ini bertolak dari pengalaman konkret perempuan, bukan dari praduga atau asumsi atau konsep. Dari pengalaman inilah kami ajak kaum perempuan untuk berteologi," jelasnya.
Murniati mengatakan, gerakan feminis terbuka bagi semua orang termasuk laki-laki. "Tapi dalam kursus ini, ketika kami harus merefleksikan tentang situasi konkret perempuan, seperti menstruasi, kehamilan, dan status subordinat yang dialami perempuan, saya rasa laki-laki tidak bisa mengikuti kursus ini.”
"Saya harap, perempuan yang memiliki kekuatan untuk memperjuangkan kesetaraan gender akan muncul dari kursus ini. Saya juga berharap, dengan berbekal kemampuan berteologi, mereka tidak lagi minder jika harus berdiskusi dengan laki-laki.”
Nofem Dini
|