TPKB Minta SKB Serta Revisinya Dicabut
Thursday, Nov. 10, 2005 Posted: 5:49:35PM PST
|
Sejumlah massa dari Tim Pembela Kebebasan Beragama menggelar spanduk saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (9/11). Mereka menuntut pemerintah mencabut surat keputusan bersama (SKB) dua menteri yang dinilai membatasi kebebasan menjalan agama mereka. (Foto: ANTARA/ Ujang Zaelani) |
Tim Pembela Kebebasan Beragama mendesak pemerintah segera mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor I Tahun 1969 beserta revisinya. Mereka menilai SKB bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dan telah memicu keresahan sosial.
Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB) bersama ratusan pendukungnya, Rabu (9/11) siang, berdemonstrasi di Bundaran HI. Dari tempat tersebut, mereka berjalan kaki ke Istana Merdeka. Aksi itu didukung berbagai kelompok masyarakat dan daerah, seperti Poso dan Papua, Kompas memberitakan.
Juru bicara TPKB Martin Sirait mengemukakan, pemberlakuan Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri telah berdampak buruk, seperti terjadinya aksi-aksi penutupan dan perusakan tempat ibadah, baik masjid maupun gereja di berbagai daerah. Dari sekian kasus penutupan dan perusakan tempat ibadah, kata Martin, tidak satu pun yang ditindaklanjuti dengan proses hukum yang memadai. ”Tidak ada tersangka yang ditangkap kemudian diadili,” ujarnya.
Dalam kaitan itu, TPKB mendesak Kepala Negara Kepolisian RI mengusut tuntas pelaku perusakan dan penutupan tempat ibadah. Pelaku-pelaku perusakan harus diproses hukum.
Desakan agar SKB Dua Menteri dicabut juga disampaikan oleh Frans Seda dan Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pendeta Weinata Sairin saat ditemui di sela-sela acara Konsultasi Nasional Gereja-gereja di Indonesia.
Frans Seda mengatakan, secara materiil kebebasan beribadah tidak perlu diatur secara khusus dalam SKB. Secara formal, kata Seda, keberadaan SKB juga tidak benar karena menteri tidak berhak mengatur rakyat. Menurut dia, hanya presiden yang dapat melakukannya. ”Lagi pula kalau mau mengatur hidup beragama, yang diatur itu ya soal toleransi dan bagaimana beribadah secara beradab,” ujar Seda.
Sementara itu, Weinata menilai keberadaan SKB saat ini sudah tidak relevan. ”SKB perlu dicabut karena tak mampu memberi solusi bagi permasalahan- permasalahan yang muncul di masyarakat,” katanya.
Demikian pula dengan revisi SKB yang baru. Revisi tersebut, kata dia, tidak menyinggung aturan mengenai ibadah di luar tempat ibadah seperti rumah. Selain itu, penetapan kuota minimal sebagai syarat pendirian tempat ibadah juga menimbulkan permasalahan terutama di daerah yang mayoritas penduduknya menganut agama tertentu. Pembatasan kuota itu tidak menjamin kebebasan bagi minoritas untuk mengekspresikan keberagamannya.
”Pro kontra SKB Dua menteri ini juga akan dibahas dalam konferensi. Kami akan mengeluarkan rekomendasi,” ungkap Weinata.
Sandra Pasaribu
|