Tokoh Gereja: Posisi Tawar Umat Kristen Rendah
Friday, Nov. 11, 2005 Posted: 12:02:17PM PST
Posisi tawar umat Kristen dan Gereja-gereja di Indonesia sangat rendah. Kasus pembakaran gereja, penutupan gereja, penembakan pendeta, dan sejumlah aksi kekerasan lainnya kurang ditanggapi secara proporsional dan mendapat tekanan politis yang kuat sehingga pemerintah dan aparat penegak hukum tidak mengungkap kasus-kasus tersebut sampai pengadilan.
Demikian pendapat yang mengemuka dalam Konsultasi Nasional Gereja-gereja di Indonesia dengan pembicara Dr Karel Phil Errari, Dr Isbodroini, Dr Bambang Wijaya, Dr. Bert Adrian Supit, Dr Ikrar Nusabakti, dan Weinata Sairin.
"Sudah waktunya gereja-gereja dan umat Kristen merapatkan barisan, meningkatkan posisi tawar, dan memberi tekanan lebih besar kepada pemerintah agar sejumlah kasus yang menyangkut gereja dan umat Kristen dapat segera terungkap di pengadilan," kata pengamat politik Isbodroini di hadapan 400 pemimpin gereja dan sinode sejumlah Gereja Aras Nasional, Kamis, di Jakarta.
Menurut dia, dalam menghadapi kasus penutupan gereja-gereja di Jawa Barat dan masalah Papua, terlihat langkah pemerintah yang berbeda. Dalam masalah yang berkaitan dengan kehidupan umat beragama, pemerintah lamban dalam meresponnya seakan-akan hal tersebut tidak akan membawa dampak yang serius. "Hal tersebut berdampak pada jatuhnya korban anak-anak perempuan di Poso yang beragama Kristen tanpa sebab dan ditambah lagi ditembaknya dua anak perempuan lagi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa pemerintah lamban mengungkap masalah-masalah yang terkait dengan isu keagamaan," tukasnya.
Ikrar Nusabakti mengingatkan, berbagai isu konflik yang terjadi di Indonesia saat ini sebenarnya bukan hal baru melainkan sudah ada sejak republik ini berdiri. Di masa lalu, tuturnya, berbagai isu konflik sosial politik tersebut banyak diselesaikan dengan cara kekerasan oleh negara, sebagian lagi dengan dialog atau akomodatif.
"Karena kebiasaan masyarakat sejak masa Orde Baru yang menyerahkan penyelesaian konflik kepada pemerintah atau aparat keamanan, maka muncul pemikiran di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid agar masyarakat dapat menyelesaikan konfliknya secara mandiri," paparnya.
Dia berpendapat, dalam setiap konflik harus dipahami sedikitnya empat hal, yaitu isu yang dikonflikkan, karakteristik dari kelompok yang berkonflik, hubungan antara kelompok-kelompok yang berkonflik, dan cara-cara yang digunakan masing-masing kelompok dalam berkonflik.
Sedangkan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Richard Daulay mengatakan faktor ekonomi, sosial dan politik yang menjadi sumber konflik horisontal di sejumlah tempat di Indonesia, jangan lagi digunakan oleh sekelompok pihak dengan mengemasnya dengan latar belakang agama.
Organisasi gereja se Indonesia berharap agar pemerintah dapat menyelesaikan persoalan antarumat beragama dengan sebaik-baiknya. Sehingga sesama umat beragama di Indonesia bisa menjalankan fungsinya dengan benar.
Sandra Pasaribu
|