STT, Anak Kandung Gereja yang Sering Terlupakan
Monday, Oct. 4, 2004 Posted: 4:40:59PM PST
Pada tahun 1930-an, masih sangat terbatas orang Indonesia yang telah mencapai pendidikan teologi akademis, bahkan nyaris tidak ada. Padahal, gereja dan jemaat saat itu membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memperoleh pendidikan teologi pada tingkat akademis.
Keadaan itulah yang kemudian mendorong sebuah rapat gabungan di Biro Indische Kerk di Jalan Kramat 51, Jakarta Pusat, mendirikan Hogere Theologische School (HTS/Sekolah Teologi Tinggi), yang diharapkan menjadi pusat pendidikan teologi di Indonesia. Rapat pada 30 November 1930 itu dihadiri wakil-wakil dari Indische Kerk, Lembaga-lembaga Zending yang Bekerja Sama, dan Lembaga Pekabaran Injil Jerman.
Dr Peter D Latuihamallo, rektor pribumi pertama Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, dalam buku Hogere Theologische School, Awal Pendidikan Teologi di Indonesia, yang diterbitkan dalam peringatan ulang tahun pada tahun ini, mengungkapkan, sekolah tinggi itu dimaksudkan mempersiapkan tenaga-tenaga terampil untuk melayani gereja yang kelak akan menggantikan tenaga-tenaga asing. Pada tahap awal, lulusannya mendapat gelar indische predikant, suatu gelar yang diberikan gereja, bukan gelar akademis.
Meskipun dipersiapkan sejak 1930, HTS baru resmi dibuka pada 9 Agustus 1934. Kota Bogor (Buitenzorg, yang secara harafiah berarti kota tanpa kesulitan) dipilih sebagai lokasi kampusnya, bukan Batavia, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan dan berkumpulnya para intelektual. Kampus pertama itu menyewa sebuah gedung yang semula digunakan untuk pelatihan pekerja gereja di Jalan Sukasari, jalan menuju Cipayung, Puncak.
Pemilihan tempat itu ternyata menjadi perbincangan cukup serius di kalangan para penggagas. Ada kritik seolah-olah sekolah teologi tinggi itu lari dari kenyataan sehari-hari kehidupan Kristen yang terutama sebagian besar berpusat di Batavia.
Namun, argumentasi bahwa gereja-gereja ketika itu juga harus melepaskan ikatan dengan negara, justru menguatkan pilihan lokasi di Bogor. Di sisi lain, ada juga kekhawatiran Batavia yang ketika itu memberi kesan sebagai conflict der tijden (konflik sejagad) akan membuat mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah mengalami keterkejutan budaya.
Golok di Tiang Bendera
Ketika HTS didirikan, telah ada sejumlah sekolah tinggi di Jakarta, seperti Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) dan Geneeskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran). Pada upacara pembukaannya, hadir Gubernur Jenderal BC de Jonge, Direktur Departemen Pendidikan dan Agama, residen dan walikota Bogor, serta sejumlah wakil gereja. Dr MC Slotemaker de Bruine, dipilih sebagai rektor. Namun, karena ia masih berada di Belanda, diangkatlah pejabat rektorat Prof Dr Theodor Muller-Kruger, teolog dari Jerman yang telah melayani jemaat di Sumatera Utara.
Dalam bagian lain, Latuihamallo yang mulai belajar di HTS tahun 1939 (angkatan ketiga), menceritakan, mahasiswa pertama HTS berjumlah 14 orang, berasal dari Minahasa, Maluku, Timor, Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Penerimaan mahasiswa berikutnya juga tidak banyak. Pada angkatan kedua, hanya diterima delapan mahasiswa, dan angkatan ketiga sembilan mahasiswa. Selain studi teologi, mata kuliah yang diberikan juga menyangkut bahasa (Belanda, Inggris, Melayu, Batak, dan Jawa), ilmu alam, ilmu bumi, ilmu musik, dan sejarah.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|