Gereja Maronite Lebanon Tolak UU, Ketegangan Baru Timbul
Mereka menuntut undang-undang pengganti yang dapat memandu pemilihan parlemen secara adil
Friday, May. 13, 2005 Posted: 1:07:08PM PST
|
Kardinal Maronite Lebanon Nasrallah Sfeir melihat ke atas saat berbicara dengan pendukungnya di Bkirki, sebelah utara Beirut , Rabu, 12 Mei 2005. (REUTERS/Str) |
Gereja Katolik Maronite yang berpengaruh luas di Lebanon pada hari Rabu, 11 Mei 205, telah menolak undang-undang yang mereka nilai curang, karena undang-undang itu dirumuskan dengan pengaruh Suriah. Mereka menuntut undang-undang pengganti yang dapat memandu pemilihan parlemen secara adil sehingga hal ini menimbulkan ketegangan di negeri itu. Saat ini Lebanon sedang berkonsentrasi pada pemilihan umum yang akan diadakan untuk pertama-kalinya setelah pengaruh dominasi Suriah meninggalkan negara itu.
Penolakan tersebut disuarakan oleh Kardinal Nasrallah Sfeir yang memiliki pengaruh sangat kuat di antara penganut Manorite dan kelompok oposisi anti-Suriah, serta dihormati secara luas di Lebanon.
Kardinal Sfeir mengadakan pertemuan luar biasa dengan para uskupnya, Rabu 11 Mei, ketika kubu oposisi masih terlibat silang pendapat. Gereja bersama dengan banyak faksi oposisi menghendaki sebuah undang-undang pemilihan terbaru yang menetapkan aturan pemilihan menurut distrik-distrik yang lebih kecil sehingga terjadi keterwakilan yang adil dalam 17 kursi yang disediakan.
Tokoh terkemuka anti-Suriah Michel Aoun, seorang Kristen yang baru kembali ke Lebanon Sabtu lalu setelah 14 tahun mengasingkan diri di Prancis, juga mengutuk undang-undang pemilihan yang dirumuskan pada masa dominasi Suriah. Dalam wawancara dengan televisi lokal, LBC TV, dia menyebutkan undang-undang itu sebagai “kepalsuan canggih”.
Aoun yang mengunjungi Sfeir Rabu kemarin mengatakan, undang-undang pemilihan itu “memarjinalkan” rakyat Lebanon. “Kita berperang melawan Rustom Ghazale yang membuat tiket-tiket pemilihan dan mengalokasikan kuota suara,” kata Aoun mengacu pada kepala intelijen Suriah yang dianggap sebagai pemimpin de facto Lebanon sebelum Suriah menarik seluruh pasukan dan tim intelijennya dari Lebanon bulan lalu.
“Kini kita punya beberapa Rustom Ghazales, satu untuk setiap daerah,” tambahnya.
Sebanyak 128 kursi dalam parlemen Lebanon dibagi rata antara kaum Muslim dan Kristen. Tetapi berdasarkan undang-undang pemilihan yang ada sekarang, menurut pihak Gereja, sekitar 50 dari 64 anggota parlemen dari kubu Kristen akan diseleksi oleh pemilih Muslim, hal yang dianggap melanggar konstitusi yang menyerukan kehidupan bersama nasional kaum Muslim dan Kristen.
“Memaksakan pelaksanaan pemilihan perlemen berdasarkan undang-undang yang tidak adil ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi langsung yang tidak kita kehendaki dan memang tidak dikehendaki,” demikian bunyi sebuah pernyataan yang dikeluarkan menyusul pertemuan Kardinal Sfeir dengan para uskupnya itu.
Para uskup Maronite mendesak politikus Kristen dan Muslim agar “meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan apa pun lainnya yaitu menjaga kehidupan bersama nasional yang menyatukan kaum Kristen dan Muslim sebagai warga yang sederajat.”
Gereja Maronite, kelompok terbesar di antara 30 persen kelompok Kristen minoritas di Lebanon, telah lama menentang kehadiran Suriah, dan penolakan undang-undang pemilihan tersebut merupakan lanjutan perlawanan atas dominasi dan pengaruh Suriah.
Next Page: 1 | 2 |
Nofem Dini
|