Uskup Afrika Selatan Mendesak WTO “mulai bertindak adil”
World Trade Organization (WTO) harus mempunyai wajah manusia dan menjadi lebih adil, wajar dan transparan
Thursday, Apr. 21, 2005 Posted: 2:53:35PM PST
World Trade Organization (WTO) harus mempunyai wajah manusia dan menjadi lebih adil, wajar dan transparan, kata Uskup Agung Anglikan Afrika Njongonkulu Ndungane kepada tubuh pemerintahan perdagangan internasional itu di Jenewa, hari Rabu, 20 April 2005.
“Tantangan institusional terbesar untuk WTO, sebagaimana juga halnya sebagian besar organisasi-organisasi internasional kita, adalah untuk menaruh orang pertama kali,” kata Ndungane, yang pendahulunya sebagai kepala gereja Anglikan di Afrika Selatan adalah peraih Nobel Kedamaian Uskup Agung Desmond Tutu.
“Tapi,” dia bertanya, “apakah sistem perdagangan internasional bekerja sedapat-dapatnya, sebaik-baiknya, untuk memenuhi cita-cita ini?”
Ndungane, uskup agung dari Cape Town, mewakili Trade for People Campaign dari Aliansi Pembelaan Ekumenikal ( Ecumenical Advocacy Alliance), sebuah kelompok yang didukung antara lain oleh Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches), Federasi Lutheran Dunia (Lutheran World Federation) dan kelompok Katolik Roma Franciscans International, yang berbasis di Jenewa.
“Sebuah sistem global sedang dibentuk oleh aturan ekonomi dunia saat ini,” kata Ndungane dalam sebuah wawancara dengan Ecumenical News International.
“Apa yang sekarang menggelegar adalah kemiskinan, kelaparan, penyakit dan ketidak-adilan,” yang menurutnya memanifestasi sebuah bentuk aturan untuk perdagangan yang memfavoritisasikan negara-negara kaya pada saat terjadi baik tidak adanya pertumbuhan dunia dan meningkatnya kemiskinan di dunia.
Pembicara lainnya di panel itu adalah Kim Hyun-chong, menteri perdagangan Korea Selatan, Peter Sutherland, mantan direktur GATT (General Agreement on Trade and Tariffs) dan WTO, yang merupakan kepala perusahaan korporat raksasa British Petroleum dan Goldman Sachs. Renato Ruggiero, mantan dirjen WTO yang lain, juga berbicara.
Ndungane memberikan contoh bahwa di negara-negara maju virus HIV dapat dikontrol, tetapi di negara-negara yang lebih miskin itu adalah hukuman mati.”
Dua-pertiga dari mereka yang hidup di Sub-Sahara Afrika, kebanyakan tanpa uang karena membeli obat-obatan untuk penyakit atau berada dalam negara-negara yang tanpa adanya infrastruktur penyokong.
“Di negara saya, Afrika Selatan, hampir seribu orang mati setiap hari karena AIDS. Secara global, 3 juta orang akan mati tahun ini. Ini sama seperti 9/11, tiga kali setiap harinya – benar-benar suatu terorisme kemiskinan.”
WTO telah bereaksi terhadap hal ini – tetapi ia mengatakan mereka, “terlalu lambat, terlalu terbatas, terlalu berkeras hati.”
“Pengawasan pemeliharaan properti intelektual yang mana akhirnya telah menjadi longgar untuk membolehkan obat-obatan yang lebih murah, tetapi tetap mempunyai kefleksibelan yang terbatas,” kata uskup itu. “Perdagangan dapat memainkan bagian yang lebih efektif dari respon kita, untuk hal ini dan kebutuhan manusia lainnya.”
Yunita Tjokrodinata
|