JAKARTA - Merasa bersalah dan berdosa serta berusaha untuk bunuh diri karena telah menyalahi konstitusi agama, sosial di dalam masyarakat ketika pada usia belasan tahun, Aldo menyadari dirinya berbeda dan lebih menyenangi sesama jenis (gay) dan berusaha untuk menutupi kenyataan bahwa dirinya seorang gay dari keluarganya. Itu merupakan salah satu pengakuan seorang LGBTIQ saat mengetahui untuk pertama kalinya bahwa mereka berbeda.
Keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak dan dapat memberikan perlindungan bagi anak ternyata dirasakan sebaliknya oleh kaum LGBTIQ pada umumnya.
Umumnya, perubahan orientasi sex yang berbeda baru diketahui dan disadari pada saat anak menginjak masa remaja sekitar 14-15 tahun. Dan hampir semua mereka yang masuk dalam kategori LGBTIQ tidak mau terbuka dan mengungkapkan orientasi sex mereka kepada keluarga karena takut dianggap aneh dan ditolak serta perasaan malu serta bersalah yang menghinggapi.
Belum lama ini di seluruh dunia memperingati Hari International Day Against Homophobia (IDAHO) 2009 yang diperingati pada 17 Mei lalu.
IDAHO sebagai momen untuk mengingatkan kepada semua pihak bahwa kelompok Lesbian,Gay,Biseksual,Transgender,Intersex dan Queer (LGBTIQ) masih terus mendapatkan diskriminasi. Sehingga dirasa perlu adanya upaya untuk melakukan sosialisasi untuk memperjuangkan dan kesetaraan hak-hak kelompok LGBTIQ.
Sebuah LSM LGBTIQ di Indonesia turut serta memperingati IDAHO 2009 dengan menggelar rangkaian kegiatan yang terdiri dari aksi damai, diskusi publik dan malam budaya.
Rabu, (27/5) lalu telah dilangungkan diskusi publik bertajuk “”Peran Keluarga Dalam Mendukung Kelompok LGBTIQ Sebagai Bagian Hak Asasi Manusia” bertempat di Gedung Graha Bhakti Antara, Jakarta.
Dalam acara diskusi publik tersebut menghadirkan pembicara antara lain: Inok ( Kelompok Lesbian Muda dari Institute Pelangi Perempuan ), Aldo ( Kelompok Gay dari OurVoice), yang mengupas tentang “Memahami keberagaman seksualitas sebagai bagian dari Spiritualitas manusia”, Ines ( Kelompok Waria dari Yayasan Srikandi Sejati), “ Fakta kelompok waria antara yang dihujat dan dinikmat”, dan juga turut menghadirkan salah seorang orangtua yang memiliki anak LGBTIQ.
Fakta bahwa diskriminasi yang dialami oleh kaum lGBTIQ dalam keluarga dirasakan masih sangat kuat, dan hal ini membuat mereka memilih untuk lari dari rumah, terusir, dan berusaha mencari identitas mereka di luar.
Setiap orangtua, khususnya seorang ibu adalah orang yang seharusnya mengetahui perubahan paling kecil yang terjadi pada anaknya, demikian juga yang dialami oleh Pritta, seorang ibu yang salah seorang anaknya gay.
Pritta menerima dengan pasrah kenyataan pada saat anaknya membuka jati dirinya sebagai gay kepadanya. Dia tidak menyalahkan Tuhan atau siapa pun bahwa anaknya seorang gay.
"Saya hanya pasrah dan berusaha untuk menerima kenyataan bahwa anak saya seorang gay, dan saya tetap memperlakukan dia dengan sewajarnya dalam keluarga, karena bagaimana pun dia adalah darah daging saya,”ungkap Pritta.
Soraya, selaku perwakilan Komnas Perempuan yang turut hadir dalam acara diskusi tersebut mengatakan bahwa perlunya terobosan kebijakan di masyarakat mengenai LGBTIQ, dan bahwa bagaimanapun, LGBTIQ juga perlu dilindungi hak asasinya sebagai manusia.
Banyak diantara mereka yang masuk dalam LGBTIQ yang eksis dan berkarya di tengah-tengah masyarakat tanpa mau membuka jati diri mereka sebagai LGBTIQ.
Untuk itu, perlunya masyarakat memiliki pemahaman tentang HAM, Gender, dan Seksualitas dengan baik menjadi salah satu cara untuk mengambil sikap yang tepat terhadap LGBTIQ di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Acara diskusi tersbeut juga di dukung oleh Arus Pelangi, Ardhanary Institute, Insititute Pelangi Perempuan, Forum Komunikasi Waria, Yayasan Srikandi Sejati, Hivos dan OurVoice.
Orangtua dihimbau untuk ikut serta dalam sebuah seminar yang membukakan mata mereka mengenai dampak pengandaian seksual terhadap kaum muda. Melinda Tankard Reist, seorang penulis ...