Pemimpin Gereja Papua Mengundang Capres dan Cawapres untuk Mendengarkan Suara Masyarakat Setempat
Thursday, Sep. 16, 2004 Posted: 10:43:25AM PST
JAYAPURA, Papua -- Para pemimpin Gereja di Papua menekankan perlunya demokrasi nyata dan keadilan ketika calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mengunjungi propinsi paling timur itu.
Para pemimpin Gereja Katolik dan Protestan di propinsi yang mayoritas Kristen itu mengundang kedua capres dan cawapres untuk menjelaskan platform mereka dan mendengarkan harapan-harapan masyarakat setempat. Namun hanya seorang dari masing-masing pasangan capres dan cawapres yang berkunjung ke Jayapura, ibukota Papua. Pemilihan presiden akan berlangsung pada 20 September.
Pada 24 Agustus malam, beberapa minggu lalu, sekitar 250 pemimpin Gereja bertemu dengan cawapres Jusuf Kalla, pasangan capres Susilo Bambang Yudhoyono. Esok harinya, mereka bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri, yang datang tanpa cawapres, Hasyim Muzadi. Pertemuan itu digelar di sebuah hotel dekat Bandara Sentani, 60 kilometer barat Jayapura.
Di antara para pemimpin Gereja itu adalah empat dari lima uskup di Papua serta para pemimpin Gereja Protestan, Pentekosta, dan Injili di Papua, serta beberapa pemimpin Protestan dari bagian-bagian lain di tanah air. Dialog itu diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP), yang terdiri atas Gereja-Gereja Katolik dan Protestan.
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan kepada kedua kandidat itu, para pemimpin Gereja mengatakan, mereka ingin menyuarakan tidak hanya keprihatinan umatnya, tapi juga keprihatinan umum agar pemerintah memperkuat demokrasi dengan memulihkan kedaulatan rakyat.
"Kami melihat terjadi kesenjangan yang besar antara pemerintah dan rakyat. Sejumlah kebijakan yang ada membingungkan kami, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah yang melayani rakyat atau sebaliknya," kata mereka.
Mereka juga mengimbau dukungan yang lebih besar untuk peran hukum serta penegakan hukum, karena "hukum seakan-akan hanya berlaku untuk kelompok mayarakat kecil." Supremasi sipil juga menuntut TNI kembali pada fungsinya, kata mereka.
Para pemimpin Gereja itu menyebut berkembangnya radikalisme di Indonesia, yang, menurut mereka, telah menghancurkan tatanan hidup bersama dalam keanekaragaman atau Bhinneka Tunggal Ika. Radikalisme, kata mereka, berwujud konflik terbuka dan kekerasan yang mengatasnamakan agama di banyak bagian di tanah air.
Mereka menolak pemberlakuan Syariat Islam, yang telah diupayakan untuk diberlakukan oleh pemerintah daerah di beberapa wilayah mayoritas Muslim di Indonesia.
Hidup bersama sebagai bangsa membutuhkan komitmen tinggi untuk saling menghargai dalam berbagai kemajemukan tanpa membeda-bedakan ras, agama, dan suku, tegas para pemimpin agama itu. "Dalam pengalaman kami, semboyan 'toleransi agama' yang begitu indah masih merupakan jargon," sesal mereka.
Kalla menanggapi bahwa konflik antaragama disebabkan oleh ketidakadilan dan kemiskinan di kalangan kelompok-kelompok etnis dan agama. "Situasi ini menciptakan ketidakrukunan dan pertikaian antaragama yang sulit diatasi. Mereka menggunakan agama untuk melegalkan perjuangan mereka," tegasnya.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|