Pemerintah Timor Leste Menghentikan Rencana Penghapusan Agama Sebagai Mata Pelajaran Wajib
Rencana dihentikan setelah Gereja Katolik memimpin sebuah aksi yang mendesak perdana menteri mundur
Tuesday, May. 10, 2005 Posted: 9:26:25AM PST
Timor Leste menarik kembali rencana penghapusan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah setelah Gereja Katolik memimpin sebuah aksi yang mendesak perdana menteri negara itu mundur, karena rencana itu dikeluarkan oleh perdana menteri itu.
Menteri Luar Negeri Jose Ramos-Horta mengatakan dalam sebuah konferensi pers di Dili 2 Mei yang dilaporkan oleh UCA News, pemerintah menerima tuntutan masyarakat bahwa pelajaran agama tetap diwajibkan di sekolah-sekolah.
Pada Desember 2004, pemerintah mengeluarkan rencana yang menjadikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pilihan, dengan sebuah implementasi percontohan untuk mengadakan uji-coba kurikulum baru. Walaupun 96 persen penduduk Timor Leste (Timur Timor) itu Katolik, Undang-Undang Dasar menetapkan bahwa Timor Leste adalah sebuah negara sekuler.
Sekitar 2.000 pengunjuk rasa, yang mulai mengadakan reli 19 April, masih berada di luar di sekitar kediaman Uskup Dili Mgr Alberto Ricardo da Silva pada 3 Mei.
Pemerintah memberi ultimatum kepada penyelenggara aksi itu untuk mengakhiri aksi mereka sebelum 4 Mei, demikian sumber kepolisian.
Perubahan sikap secara tiba-tiba dari pemerintah itu terjadi setelah Gereja mengeluarkan pengumuman yang mengatakan bahwa rakyat Timor Leste mendesak Perdana Menteri Mari Alkatiri mundur. Hal itu terjadi ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak mewajibkan pelajaran agama di sekolah-sekolah.
Tanggal 25 April, dari kediaman Uskup da Silva, Gereja Katolik mengeluarkan sebuah komunike bersama. "Para pengunjuk rasa mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintahan Perdana Menteri Mari Bin Amude Alkatiri. Konsekuensinya, rakyat mendesak Partai Fretilin dan Parlemen Negara di bawah kekuasaan perdana menteri dibubarkan," demikian pesan bersama dari Keuskupan Dili dan Keuskupan Baucau, dua keuskupan yang mencakup seluruh negara itu.
Pastor Apolinario Aparicio Guterres, vikaris jenderal (vikjen) Keuskupan Dili, membacakan komunike bersama itu dalam sebuah pertemuan para wakil kedua keuskupan dan sejumlah menteri Kabinet Alkatiri di kantor perdana menteri.
Berita yang simpang siur muncul berkaitan dengan pertemuan tertutup selama dua jam itu, apakah konflik telah diselesaikan. Menurut berita media, juru bicara perdana menteri mengklaim pada 30 April bahwa perdebatan telah diselesaikan dan tidak ada alasan lagi untuk meneruskan aksi demo.
Namun, pada 1 Mei, pengunjuk rasa dua dari kedua keuskupan mengeluarkan komunike bersama yang menuntut perdana menteri mundur. Ketika membacakan komunike itu, Justo Sampaio, juru bicara pengunjuk rasa, mengatakan, perdana menteri tidak memperhatikan masyarakat sekali pun masyarakat memiliki banyak persoalan.
"Itulah sebabnya kami Comite Central de Fretilin dan Parlemen Negara mendesak untuk mencopot Mari Alkatiri dari posisinya sebagai perdana menteri," katanya.
Sebelumnya, pada 28 April, Presiden Xanana Gusmao menemui para pengunjuk rasa dan menghimbau mereka untuk tenang, berdoa, dan meletakkan karangan bunga di patung Bunda Maria.
Next Page: 1 | 2 |
Nofem Dini
|