Warga Timor Leste Protes Kebijakan Pelajaran Agama Tidak Diwajibkan
Ribuan umat Katolik, Protestan, dan Islam di Timor Leste menuntut dikembalikannya kebijakan pendidikan agama
Thursday, Apr. 28, 2005 Posted: 1:49:02PM PST
Ribuan umat Katolik, Protestan, dan Islam di Timor Leste menuntut dikembalikannya kebijakan pendidikan agama yang pernah ditetapkan pemerintah sebagai mata pelajaran wajib di sekolah, hari Rabu lalu, 20 April 2005.
Para demonstran yang juga didukung oleh Gereja Katolik berdemo di Dili. Mereka menentang langkah pemerintah yang tidak lagi menetapkan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah di Timor Leste.
Gereja Katolik di sana telah menyuarakan kepada pemerintah tentang isu agama di sekolah-sekolah negeri sejak 23 November, ketika Menteri Pendidikan Armindo Maia mengatakan kepada Stasiun Radio Suara Timor Lorosae bahwa agama akan menjadi mata pelajaran pilihan, bukan mata pelajaran wajib dalam kurikulum sekolah negeri. Implementasi kebijakan itu dimulai bulan Februari.
Menteri Pendidikan mengutip Pasal 45 Undang-Undang Timor Leste, yang memisahkan pemerintah dan agama. Ia juga mengatakan bahwa pemerintah tidak punya cukup dana untuk membayar gaji para guru agama.
Ketegangan antara Gereja Katolik dan pemerintah memanas setelah Perdana Menteri Mari Alkatiri mengatakan di hadapan publik bahwa pemerintah tidak akan pernah menarik keputusannya dan menyarankan agar gereja menjadi partai politik jika ingin menegosiasikan isu-isu politik.
Menyusul aksi protes itu, Alkatiri mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengatakan, "Pemerintah masih ingin membuka dialog dengan Gereja Katolik, tapi demonstrasi hari ini tidak membantu terciptanya kondisi untuk dialog."
Pastor Agostinho de Jesus Soares SDB, Vikaris Jendral Keuskupan Dili, mengatakan kepada UCA News, gereja mendekati pemerintah "untuk mencari solusi terhadap masalah ini melalui dialog yang ramah." Namun ia menyesal bahwa "pemerintah tidak pernah menunjukkan itikad baik untuk duduk dan bicara bersama." Jika memang demikian, lanjutnya, "biarlah orang datang dan bicara langsung kepada pemerintah."
Ildefonso da Silva, seorang guru senior di Dili, mengatakan kepada UCA News, para pemimpin saat ini tidak pernah mengeluh tentang Gereja yang berpolitik ketika Uskup Belo mempertaruhkan nyawanya untuk menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara Indonesia.
Pastor Venancio de Araujo SJ dari Stasiun Radio Timor Kmanek menyiarkan pesan pada tanggal 21 April yang mengkritik pemerintahan Alkatiri dan mendesak masyarakat untuk menentang "para pengikut Marxist yang tersembunyi dalam mantel para demokrat," yang hanya berpura-pura menggembar-gemborkan nilai-nilai demokratis.
Julio Pinto, pengamat militer dan dosen di Universitas Paz mengatakan kepada UCA News, Fretilin bisa kehilangan simpati dari mayoritas penduduk Katolik dalam pemilihan mendatang. "Mengatakan bahwa Gereja Katolik hendaknya menjadi partai politik mengingatkan masyarakat akan masa lalu Fretilin, ketika ia berhubungan dengan komunis. Dan ini merugikan Fretilin."
Pendeta Luis de Andrade dari Gereja Hosanna menyebut situasi ini ironis. Ia menjelaskan bahwa selama masa pendudukan Indonesia, mereka mengizinkan gereja lokal untuk mengajarkan agama di sekolah-sekolah dan bahkan mensubsidi pendidikan agama. "Sekarang kita adalah negara Kristen dan kita tidak bebas mengajarkan agama kepada anak-anak kita. Ini tidak masuk akal," katanya kepada UCA News.
Next Page: 1 | 2 |
Nofem Dini
|