"Beras Adalah Kehidupan," Fokus Perayaan Hari Penciptaan
Monday, Sep. 20, 2004 Posted: 10:03:43PM PST
Saat sambutan pada Liturgi Ekumenis Hari Penciptaan yang berlangsung hari itu, Frater Armin Luistro dari Kongregasi De La Salle mengatakan kepada sekitar 80 peserta bahwa ketika masih muda, ia selalu menghabiskan nasi di piringnya. Ia menceritakan bagaimana orang tuanya mengajarkan kepada anak-anaknya, "Setiap nasi di piring yang tidak habis dimakan adalah jumlah tahun yang akan kalian jalani di tempat penebusan dosa sambil memungut beberapa butir nasi yang kalian buang."
Pelajaran itu membuatnya "sadar sejak dini bahwa beras adalah karunia penciptaan yang tak ternilai harganya."
Frater Luistro, yang adalah presiden Pendidikan De La Salle University, mengatakan, orang-orang dari berbagai situasi berbeda menghargai beras secara berbeda pula: "Mereka yang sedang diet menolak beras. Bagi pengusaha, beras menghasilkan uang dengan sedikit investasi. Bagi petani, beras adalah kerja keras. Bagi orang Filipina yang hidup di bawah garis kemiskinan, beras adalah kehidupan."
Sambutannya memulai bagian kedua dari kegiatan sehari penuh yang diorganisir oleh GeoChris Foundation Inc. yang berbasis Gereja dan Creation Day and Creation Time Advocacy Group.
Kegiatan itu dimulai sebelumnya ketika para suster, imam, mahasiswa, dosen, pakar pertanian, dan pencinta lingkungan hidup berperanserta dalam Seminar tentang Genetically Modified Organisms (GMO, organisme yang dimodifikasi secara genetis) dan Varietas Alami Beras dengan tema, "Beras adalah Kehidupan: Etika produksi beras dalam masyarakat yang mempertahankan kesehatan."
Pada seminar itu, Bita Sigari Avendano dari Institut Riset Beras Internasional (IRRI, International Rice Research Institute) mengatakan, IRRI yang terletak di tenggara Manila melakukan riset modifikasi genetika untuk memproduksi lebih banyak beras dan meningkatkan kualitas nutrisinya di lahan terbatas dengan menggunakan sedikit air, sedikit buruh, dan sedikit bahan kimia, dan tanpa merusak lingkungan hidup.
Sebuah dilema muncul di Filipina, jelasnya, karena kebanyakan dari 80 juta orang Filipina menjadikan beras sebagai makanan pokok mereka, sementara hanya ada 2,5 juta hektare lahan yang cocok untuk bertanam padi. Thailand yang berpenduduk 60 juta orang, katanya, memiliki 9 juta hektare sawah.
Teknologi-teknologi yang dikembangkan oleh IRRI ditawarkan secara internasional kepada para partnernya di negara-negara pemroduksi beras dan pengonsumsi beras di dunia, termasuk Bangladesh, India, dan Vietnam.
Namun sebagian besar peserta forum terbuka itu mendukung pertanian organik dan menganggap bahwa menanam dan memakan tanaman panen yang telah dimodifikasi secara genetis itu tidak aman dan tidak etis. Mereka juga menegaskan bahwa teknologi semacam itu tidak akan menguntungkan kaum miskin.
Pastor Oscar Alunday, seorang warga Suku Tinggian dari Propinsi Abra, mengatakan, orang-orang pribumi seperti dia biasa dimanfaatkan sebagai 'guinea pig' (jenis kelinci yang mempunyai kepala yang besar dan tubuh yang gemuk yang digunakan untuk penelitian biologi) sebagai uji coba makanan yang telah dimodifikasi secara genetis. Propinsi-propinsi sedang dipersiapkan secara militer untuk melindungi penanaman tanaman panen GMO, yang mengakibatkan pembunuhan dan pelecehan terhadap para petani dan aktivis lingkungan hidup, lanjut Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Kitab Suci Konferensi Waligereja Filipina itu.
Next Page: 1 | 2 |
|