Perkawinan Lintas Agama Perlu Dibicarakan Terbuka
Monday, Sep. 27, 2004 Posted: 3:35:52PM PST
Wacana perkawinan lintas agama tetap menjadi isu yang sangat sensitif dan menunjukkan kian mengerasnya sikap kelompok agama yang didasari oleh sikap saling curiga. Oleh karenanya, sudah saatnya wacana perkawinan lintas agama dibicarakan secara terbuka dengan menghargai argumen masing-masing pihak. Demikian terungkap dalam diskusi dan peluncuran buku Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme di Gedung Joang Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/9).
Diskusi yang diselenggarakan lembaga swadaya masyarakat Kapal Perempuan ini menurut koordinator diskusi, Budhis Utami, lebih banyak menyorot dari perspektif perempuan. "Bagi perempuan, masalah tersebut menjadi lebih kompleks karena perempuan dalam berbagai konteks seringkali digunakan sebagai simbol sebuah komunitas atau sebagai penjaga keutuhan sebuah komunitas," ujar mantan aktivis GMNI itu. Demikian ungkap Suara Pembaruan.
Bagi perempuan bicara tentang perkawinan itu sendiri sering kali merupakan hal yang pelik, terlebih lagi perkawinan lintas agama. Dengan demikian tekanan agar perempuan hanya memilih pasangan yang seagama menjadi lebih berat ketimbang kaum pria, ujarnya. Kondisi demikian memaksa perempuan tidak bisa leluasa bergerak dan harus mematuhi peraturan yang ditujukan untuk dirinya.
Oleh karena itu LSM Kapal Perempuan mendorong adanya tafsir ulang terjadap masalah perkawinan lintas agama agar dibuka ruang untuk menyikapinya secara kritis, papar Budhis. Diskusi tersebut juga membawa tiga pesan yang mendorong tumbuhnya kemandirian kaum perempuan dalam menentukan sikap hidupnya.
Menurut Budhis, pertama kali perempuan harus betul-betul yakin bahwa dirinya memutuskan yakin akan menikah atau justru sebaliknya. Selanjutnya perempuan juga harus memiliki kuasa dalam menentukan pernikahan seperti apa yang akan dilakoninya termasuk dengan siapa dia akan menikah.
Sedangkan pesan terakhir menurut Budhis, sedari awal harus ada komitmen tegas, kalau perlu dalam sebuah nota kesepahaman diantara kedua belah pihak. Dengan begitu masing-masing pihak saling menghargai posisi masing-masing. Bagi Budhis persoalan-persoalan yang justru muncul pasca pernikahan berujung pangkal pada tingkat kedewasaan masing-masing pihak.
Sementara itu pendeta Johannes H Hariyanto mengatakan bahwa dalam agama katolik pada dasarnya pernikahan lintas agama tidak dibenarkan. Hal itu merujuk pada Kanon 1086 par 1 yang menyebutkan bahwa perkawinan antara satu orang yang dibaptis secara Katolik dan satunya tidak dibaptis adalah tidak sah. Demikian juga pada Kanon 1124 yang menyatakan tidak sah perkawinan antara satu orang yang dibaptis secara Katolik dan yang dibaptis tidak secara Katolik.
Namun demikian menurut Johannes dalam rangkuman akhir pada makalahnya, dengan perkembangan kekinian bisa saja perkawinan lintas agama dilakukan sepanjang terpenuhinya beberapa syarat yang ditentukan Gereja. Sementara bagi pasangan non-Katolik, walaupun tidak ada keharusan untuk menjadi Katolik, Ia harus menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan perkawinan menurut Gereja Katolik. Ia harus pula mengetahui dan menerima kewajiban pihak Katolik untuk menjaga imannya dan mendidik anak mereka secara Katolik.
Next Page: 1 | 2 |
|