Masalah Pengungsi Tidak Terselesaikan Jika Korupsi Berlanjut, Kata Uskup
Saturday, Sep. 4, 2004 Posted: 12:00:02PM PST
Uskup Amboina Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC mengatakan, masalah pengungsi di Maluku tidak akan terselesaikan jika masalah korupsi yang mengganggu program bantuan pengungsi tidak diberantas.
Uskup Mandagi mengatakan kepada para wartawan di kantornya, 20 Agustus, bahwa masalah pengungsi tidak kunjung selesai karena dana resettlement pengungsi dikorupsi sebelum sampai ke tangan mereka.
Menurut uskup yang juga Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) itu, tidak peduli seberapa besar dana penanganan masalah pengungsi, "jika tidak ada kejujuran, maka sangat mustahil masalah ini akan terselesaikan."
Seraya berharap agar situasi ini ditangani secara bersih, prelatus itu mengimbau pemerintah melakukan aksi untuk menghindari "hak-hak pengungsi tidak lagi dicicipi, atau semua ini dapat berujung pada konflik."
Pertikaian Kristen-Muslim di Kepulauan Maluku (1999-2002) menewaskan sekitar 6.000 orang dan mengungsikan ratusan ribu orang, puluhan ribu di antaranya masih hidup sebagai pengungsi di dalam dan di luar Propinsi Maluku.
Uskup Mandagi mengatakan, ia mendengar rencana pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana hingga 400 miliar rupiah tahun ini untuk menyelesaikan masalah pengungsi. "Tapi kita harus was-was, jangan sampai ada pejabat-pejabat yang mengorupsi uang pengungsi," katanya mengingatkan.
Surat kabar-surat kabar di Ambon pada pertengahan Agustus melaporkan bahwa DPRD Maluku secara resmi meminta Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu untuk mengganti Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Maluku karena gagal mengatasi masalah pengungsi dan diduga melakukan korupsi.
Namun, menurut Uskup Mandagi, para kontraktor juga harus bertanggung jawab atas tidak terselesaikannya masalah pengungsi. "Kontraktor memang perlu mendapat untung, tapi jangan mematikan pengungsi dengan mengorupsi hak-hak mereka," katanya.
Selain itu, Uskup Mandagi juga prihatin terhadap sikap pengungsi sendiri. "Ada pengungsi yang suka berdusta. Mereka sudah mendapat bantuan, tapi mengatakan belum (mendapat bantuan). Mereka mendapat bantuan untuk membangun rumah, tapi dipakai untuk pesta-pora dan mabuk-mabukan atau dipakai untuk perjalanan ke luar daerah," katanya.
Harian "The Jakarta Post" edisi 20 Agustus melaporkan bahwa beberapa pengungsi yang mendapat rumah dari pemerintah tidak menempati rumah-rumah itu, tapi menyewakannya atau meninggalkannya begitu saja.
Menurut data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Maluku, sedikitnya 70.051 kepala keluarga, yang terdiri atas 331.979 pengungsi, mengungsi karena konflik sektarian yang mulai terjadi tahun 1999. Dari jumlah ini, 174.570 pengungsi telah mengikuti program repatriasi, sementara 36.378 kepala keluarga, yang terdiri atas 164.189 orang, tetap tersebar di seluruh Propinsi Maluku.
Pemerintah telah mengeluarkan dana ratusan miliar rupiah untuk repatriasi dan relokasi pengungsi. Tahun 2003 saja, budget negara mengalokasikan lebih dari 176 miliar rupiah untuk masalah ini, plus 18 miliar rupiah untuk dana tambahan.
Namun, artikel dalam "The Jakarta Post" mengklaim bahwa ribuan pengungsi masih belum menerima bantuan. Ada laporan terbaru soal para pejabat setempat yang dituduh menyalahgunakan dana bantuan untuk pengungsi, kata harian berbahasa Inggris itu.
Next Page: 1 | 2 |
|