Cendikiawan: Revisi SKB Dua Menteri
Thursday, Oct. 27, 2005 Posted: 4:03:23PM PST
Cendekiawan Muslim Muhammadiyah, Dr Moeslim Abdurahman menegaskan bahwa hasil revisi SKB dua menteri yang telah selesai dilakukan oleh Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri merupakan "bom waktu" kerukunan umat beragama di Indonesia. Aturan pemerintah itu dinilai sangat tidak sehat dan etatisme negara semakin kuat.
"Sekarang ini sudah bukan waktunya negara ikut campur dalam masalah kerukunan umat beragama. Jika bangsa ini ingin dewasa dan masyarakatnya benar-benar hidup secara harmonis tidak membedakan suku, agama, ras dan golongan, maka peran negara harus hilang dan tidak boleh lagi ikut campur dalam kehidupan sosial masyarakat dalam hal kerukunan. Terlalu jauh jika negara ikut campur persoalan itu, sebaiknya penyelenggara negara lebih fokus soal mengatasi kemiskinan dan penegakan hukum," ujar Moeslim di Jakarta, Rabu (26/10), Suara Pembaruan memberitakan.
Menurut dia, masyarakat hendaknya menolak revisi SKB yang telah dilakukan pemerintah karena persoalan kerukunan menjadi isu politik penyelenggara negara sehingga kerukunan ditengah masyarakat semakin semu dan tidak sehat.
"Bisa anda bayangkan, jika di Jawa orang di Indonesia bagian barat akan sulit mendirikan tempat ibadah, maka di Indonesia bagian timur akan membalasnya. Dengan demikian akan ada perang soal pendirian tempat ibadah ini antara masyarakat di Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Ini yang saya takutkan karena persoalan ini kemudian akan menjadi kerawanan sosial dan menimbulkan perpecahan antara warga bangsa," ujar Moeslim.
Dikatakan, soal pendirian tempat ibadah sudah waktunya pemerintah menyerahkan persoalan itu langsung kepada pemerintah daerah. Lebih tepat jika pendirian tempat ibadah dikaitkan dengan penataan kota atau wilayah setempat. Dengan demikian konsep kota dan tempat ibadah menjadi satu bagian tidak terpisahkan. Walikota atau pemerintah daerah tingkat I dan II yang mengetahui betul demografi wilayahnya yang berhak memutuskan tempat ibadah perlu atau tidak.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Ketua Umum PGI, Weinata Sairin menilai revisi SKB sama sekali tidak memuaskan dan tetap akan menimbulkan konflik horisontal di lapangan karena akar persoalan yang ingin diciptakan dibalik ketetapan pemerintah itu tetap menimbulkan perbedaan penafsiran serta lebih menguntungkan agama tertentu sehingga prinsip keadilan dan kesetaraan tidak tercipta.
"Karena itu saya minta agar sebelum ketentuan pemerintah itu diterapkan maka perlu dilakukan sounding dengan tokoh-tokoh agama atau organisasi keagamaan lainya. Tanpa ada keterbukaan antara pemerintah dengan organisasi keagamaan lainya maka cita-cita untuk menciptakan kerukunan tetap akan jauh panggang dari api," ujar Weinta.
Sementara itu Direktur Jenderal (Dirjen) Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Sudarsono Hardjosoekarto, kepada wartawan di Depdagri Jakarta, Selasa (25/10), mendesak bupati dan wali kota wajib menyelesaikan semua permasalahan terkait dengan kehidupan umat beragama di wilayahnya, termasuk dalam hal penutupan rumah ibadah. Bupati dan wali kota juga harus melaporkan kepada gubernur terkait dengan perkembangan kerukunan antar umat beragama di wilayahnya sekali dalam enam bulan. Selanjutnya gubernur menyampaikan laporan itu kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Next Page: 1 | 2 |
Sandra Pasaribu
|