Kemiskinan Bisa Menjadi Sumber Radikalisme
Radikalisme itu bisa didasarkan pada agama atau ideologi lain yang bukan agama, seperti ideologi kanan dan kiri. Untuk itu, pemerintah bertekad untuk mengupayakan agar jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan semakin berkurang
Wednesday, Oct. 19, 2005 Posted: 11:15:55AM PST
Kemiskinan yang dialami oleh lebih separuh penduduk Indonesia bisa menimbulkan radikalisme. Selain itu, peran masyarakat, termasuk tokoh agama, sangat penting untuk menjaga keutuhan Indonesia.
Hal itu diungkapkan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono seusai tatap muka dan urun rembuk dengan sejumlah tokoh agama, insan pers, dan pekerja film di Jakarta, Senin (17/10), Suara Pembaruan memberitakan.
"Tentang radikalisme, tentu kita paham kalau kondisi sekarang ada 36 juta rakyat kita masih hidup di bawah kemiskinan, 9,9 juta mengalami pengangguran terbuka, dan 15 juta keluarga atau sekitar 67 juta orang yang membutuhkan subsidi tunai. Dalam konteks kemiskinan seperti ini, sudah sewajarnya kalau timbul radikalisme dari kalangan tidak mampu," kata Juwono.
Menurut Menhan, kondisi perekonomian itu yang menjadi faktor utama munculnya radikalisme di masyarakat. Mereka lalu menggunakan ideologi radikalisme itu sebagai suatu pembenaran terhadap tindakan mereka.
Radikalisme itu bisa didasarkan pada agama atau ideologi lain yang bukan agama, seperti ideologi kanan dan kiri. Untuk itu, pemerintah bertekad untuk mengupayakan agar jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan semakin berkurang.
Sejumlah tokoh agama dan masyarakat yang hadir dalam acara itu mempersoalkan semakin maraknya aksi-aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan agama. Mereka mempertanyakan, negara terkesan membiarkan aksi-aksi massa yang menjurus kekerasan seperti itu.
Sementara itu, Tokoh agama Katolik, Frans Magnis-Suseno memberi contoh kasus penyerbuan Kampus Ahmadiyah di Parung, Bogor, dan aksi-aksi penutupan gereja oleh sekelompok orang. Dia melihat, negara juga memiliki peran dalam aksi-aksi seperti itu.
"Kita tidak bisa melarang orang untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan mereka. Di Kristen, ada juga kelompok yang mengaku paling Kristen. Tapi, kami tidak bisa melarang mereka untuk beribadah," kata dia.
Pada kesempatan itu, Magnis juga menyinggung soal sulitnya membangun rumah ibadah bagi warga non-muslim. Meski demikian, dia setuju jika pemerintah membuat aturan tentang pendirian rumah ibadah.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri, Mohammad Ma'ruf mengatakan, sampai saat ini pemerintah masih menyempurnakan Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri dan Menteri Agama Nomor 1/1969. Pembahasan SKB itu sampai saat ini masih berada dalam proses di Departemen Agama.
Menurut Maa'ruf, SKB dua menteri itu nantinya akan diperluas menjadi peraturan bersama yang mengacu pada proses desentralisasi dan otonomi daerah. Artinya, pendirian tempat ibadah akan menjadi kewenangan masing-masing daerah.
"Dengan demikian, pendirian tempat ibadah itu akan disesuaikan dengan kewenangan setiap daerah. Hal itu dilakukan dengan harapan tidak ada lagi multitafsir terhadap aturan pendirian rumah ibadah seperti yang terjadi selama ini," kata Mendagri.
Maria F.
|