Ganti SKB dengan UU Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan
Cendekiawan muslim, Prof Drs Dawam Rahardjo menegaskan bahwa revisi SKB yang telah dilakukan oleh Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri masih memiliki banyak kelemahan dan tidak menjawab persoalan kerukunan agama yang menjadi misi dan visi dar
Monday, Oct. 17, 2005 Posted: 10:45:55AM PST
Cendekiawan muslim, Prof Drs Dawam Rahardjo menegaskan bahwa revisi SKB yang telah dilakukan oleh Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri masih memiliki banyak kelemahan dan tidak menjawab persoalan kerukunan agama yang menjadi misi dan visi dari revisi tersebut. Karena itu, ia menolak keras hasil revisi SKB dan meminta pemerintah menggantinya dengan UU Kekebasan Beragama dan Berkepercayaan.
"Yang saya minta bukan Undang Undang Kerukunan Beragama. Sangat absurd jika masalah kerukunan kemudian di undang-undangkan. Yang saya minta serta umat Islam sebagain besar di Indonesia yang sangat moderat dan seluruh warga bangsa ini adalah UU Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan," ujar Dawam Rahardjo dalam diskusi tentang Kebebasan Beragama di Jakarta, Jumat (14/10). Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, rohaniwan Katolik, Prof Dr Frans Magnis Suseno, anggota DPR Pastor T, pengamat HAM, Johnson Panjaitan dan mantan Ketua PGI, Nathan Setiabudi, Suara Pembaruan memberitakan.
Dawam meminta UU Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan karena dalam undang undang tersebut semangatnya adalah memberikan kekebasan beragama dan berkepercayaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Campur tangan pemerintah atau negara dalam masyarakat menentukan dan memilih agamanya tidak perlu terjadi karena masyarakat Indonesia pada dasarnya memiliki rasa toleransi yang sangat kuat.
Menurutnya, Rancangan Undang-undang (RUU) Kebebasan Umat Beragama (KUB) yang masih diupayakan pemerintah untuk direalisasi mencerminkan sikap negara yang sangat kerdil karena menganggap warga negaranya bodoh sehingga tidak bisa mengatur relasi sosial keagamaan mereka. RUU tersebut mencerminkan kemunduran karena negara hanya mengakui lima agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Dalam hal ini, negara bersikap diskriminatif terhadap warga negara yang harus dilindunginya.
"Agama itu urusan individu sebagai manusia, bukan sebagai warga negara. Oleh karena itu, soal beragama jangan dikaitkan dengan negara. Itu (beragama) adalah hak asasi manusia," katanya.
Sementara itu, Frans Magnis Suseno mengkritik keras paradigma agama yang digunakan RUU KUB yang tidak mengakui agama selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Hal ini tercantum dalam pasal 1 ayat 1, "Agama yang dianut penduduk Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha".
"Saya keberatan betul dengan itu. Siapa yang memberikan kewenangan kepada Departemen Agama untuk menyatakan bahwa hanya ada lima agama di Indonesia? Saya keberatan betul dengan itu," tegas Magnis.
Sandra Pasaribu
|