Pertemuan Menyikapi Dampak Fatwa MUI Digelar Tokoh Agama
Pembiaran negara atas penindasan terhadap kaum minoritas suatu saat nanti akan menimbulkan perlawanan, dimana dengan adanya begitu banyak contoh mengaminkan kesimpulan itu
Thursday, Oct. 13, 2005 Posted: 1:11:21PM PST

Pembiaran negara atas penindasan terhadap kaum minoritas suatu saat nanti akan menimbulkan perlawanan, dimana dengan adanya begitu banyak contoh mengaminkan kesimpulan itu.
Hal ini menjadi pembahasan utama dari kolokium International Center Islam and Pluralism (ICIP) tentang “Menyikapi Perkembangan dan Dinamika Masalah Keagamaan dan Sosial Politik Mutakhir Pasca Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)”, Selasa (11/10) siang, di Jakarta.
Pertemuan yang dihadiri oleh, DR. Syafi’I Anwar (ICIP), KH. Hussain Muhammad dari Pondok Pesantren Da’arut Tauhid, Cirebon, Lili Munir dari Center for Pesantren and Democracy, DR. Musdah Mulya (ICRP), Prof. DR. Dawam Rahardjo, Prof. DR. Djohan Effendi, Romo Benny Susetyo, SJ (KWI), Hamid Basyaib (JIL), dan Wakil Amir Ahmadiyah Rahmadi itu membahas tentang langkah-langkah untuk menghadapi kekerasan antaragama sebagai dampak fatwa MUI.
Tanggal 28 Juli 2005, MUI telah mengeluarkan 11 fatwa di antaranya MUI mengharamkan doa bersama antar agama. Doa bersama antar agama dianggap sebagai sesuatu yang bid'ah atau tidak diajarkan dalam syariah agama Islam, mengharamkan pluralisme (pandangan yang menganggap semua agama sama), sekularisme, dan liberalisme, serta mengharamkan aliran Ahmadiyah.
KH Hussain Muhammad dalam forum itu menjelaskan bahwa kondisi Islam di Indonesia jauh dari yang diharapkan Al-quran. Agama Islam seharusnya menciptakan perdamaian antara manusia.
Hal itu diaminkan dibenarkan oleh Prof. DR Dawam Rahardjo. Menurutnya, antara apa yang tertulis dalam Al-quran dengan apa yang menjadi kenyataan sangat jauh berbeda seperti bumi dan langit.
Seharusnya Islam menjadi rahmat bagi bangsa ini, tetapi justru mendatangkan bencana. Kedamaian, rahmat dan kebaikan dalam Islam menjadi hanya mitos. Islam seharusnya menentang kezaliman, tetapi dengan penutupan rumah-rumah ibadah maka Islam justru mendatangkan kezaliman.
“Kalau Islam tidak bisa dikontrol oleh negara, sebaiknya Islam dilarang saja di Indonesia. Kondisi sekarang ini justru mengancam kerukunan semua umat beragama, bahkan agama telah mejadi sumber bencana. Penutupan terhadap gereja dan rumah ibadah adalah ancaman juga terhadap umat Islam karena semua akan hancur. Untuk itu, umat beragama harus bersatu untuk mencegah kehancuran bangsa ini,” tegas Dawam Rahardjo.
Romo Benny Susetyo, SJ menegaskan bahwa negara telah gagal menjaga keamanan dan kerukunan umat beragama. “Penutupan rumah ibadah adalah premanisme kalau dibiarkan, balkanisasi hanya soal waktu. Kita hanya punya pilihan kembali ke Pancasila dan UUD’45 untuk selamatkan negara ini,” tegasnya.
Sementara itu, Lili Munir, dalam kesempatan itu, juga menjelaskan bahwa kekerasan yang muncul akibat fatwa MUI tersebut akan memudarkan persaudaraan sesama bangsa Indonesia.
“Semenjak kecil di dalam kurikulum pesantren telah mengajarkan anak didiknya dengan ajaran yang antipluralis. Mereka diajarkan untuk anti-Kristen dan anti-Yahudi. Selebaran-selebaran antipluralisme yang bernada antikristenisasi juga beredar di tengah masyarakat sehingga mudah dipicu dengan berbagai kekerasan menyerang agama dan keyakinan lain. Kondisi ini harus kita akui,” katanya.
Next Page: 1 | 2 |
Nofem Dini
|