Draft Revisi SKB Pendirian Rumah Ibadah Sudah Final
Monday, Oct. 3, 2005 Posted: 1:40:26PM PST
Pemerintah memfinalisasi draft akhir revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No.01/1969 tentang tata cara perizinan pendirian rumah ibadah.
Salah satu butir dalam draf tersebut menyebutkan bahwa kegiatan beribadah di luar rumah ibadah yang bersifat rutin harus mendapat izin dari bupati/walikota.
"Revisi SKB itu sudah sampai tahap final. Salah satu poin penting, kegiatan ibadah yang bersifat rutin dan dilakukan di luar rumah ibadah harus mendapat izin bupati/walikota. Tapi itu izinnya bersifat sementara sampai keluarnya izin permanen dari bupati/walikota. Prinsipnya setiap pendirian rumah ibadah harus mendapatkan izin," papar Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Sudarsono Hardjsoekerto kepada wartawan di Jakarta, Jumat (30/9) usai mendampingi Menteri Dalam Negeri M Ma'ruf yang bertemu dengan Menteri Agama Maftuh Basyuni.
Pemberian izin sementara melakukan ibadah di luar rumah ibadah tersebut, terangnya, sebagai langkah pemerintah yang tidak akan menghalang-halangi kegiatan ibadah umat agama tertentu akibat belum adanya rumah ibadah di suatu daerah.
Sementara Kepala Badan Litbang & Diklat Keagamaan Departemen Agama Atho Mudzhar yang hadir dalam pertemuan tersebut menjelaskan, izin permanen tersebut adalah Izin Prinsip Pendirian Rumah Ibadat (IPPRI) dan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMBRI). Keduanya menjadi syarat untuk pendirian rumah ibadah. Di dalam SKB tersebut, perbedaan antara IPPRI dengan IMBRI tidak disebutkan sehingga memunculkan multi tafsir. Karena itu, perbedaan dari dua izin tersebut disebutkan secara tegas dalam draf revisi SKB tersebut.
Dijelaskannya lebih lanjut, untuk memperoleh izin dari bupati/walikota, setiap permohonan IPPRI harus dilengkapi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk di kelurahan/desa, FKUB kecamatan, dan FKUB kabupaten/kota.
"Jadi FKUB yang menentukan. Mereka bermusyawarah dan bermufakat, apakah di daerah itu bisa dibangun rumah ibadah. FKUB bisa mengizinkan, atau bahkan menolak permohonan pembangunan rumah ibadah. Kalau kita mau jujur, kekurangan selama ini adalah karena kurangnya komunikasi antara pihak yang ingin mendirikan rumah ibadah dengan masyarakat setempat. Disitulah peran FKUB," jelasnya.
Disinggung soal lamanya waktu pengurusan izin pendirian rumah ibadah sejak permohonan diajukan, ia menjelaskan bahwa hal itu diserahkan kepada gubernur untuk membuat petunjuk teknisnya dengan mengacu pada standar pelayanan terukur. Setelah peraturan gubernur terbit, bupati/walikota hanya menjalankan peraturan tersebut.
Draf revisi SKB nantinya akan bernama Peraturan Bersama Menteri sesuai tata urutan perundangan yang diatur dalam UU No.10/2004 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan. Draf yang berisi 25 pasal tersebut rencananya, pada minggu depan, akan dikonsultasikan ke presiden terlebih dahulu sebelum ditandatangani oleh Mendagri dan Menag.
Eva N.
|