Penpres No 1/1965 Tentang Pencegahan Penodaan Agama Dipertanyakan
Wednesday, Aug. 11, 2004 Posted: 8:15:22PM PST
JAKARTA –- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Jemaah Persaudaraan Sejati (JPS) melakukan kajian terhadap Penetapan Presiden (Penpres) No 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dalam pandangan mereka, Penpres No 1/1965 bisa menjadi ancaman terhadap hak masyarakat untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
"Penpres tersebut kami nilai tidak relevan lagi saat ini karena terlalu memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk ikut campur dalam persoalan keyakinan warga negaranya," ujar aktivis Jemaah Persaudaraan Sejati, Ahmad Baso dalam diskusi peran agama di Jakarta akhir pekan lalu. Kesimpulan sementara mereka diperkuat dengan keluhan para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang menganggap Penpres No 1/1965 sebagai peraturan diskriminatif. Hal tersebut berkaitan dengan isi penjelasan dari pasal 1 Penpres No 1/1965.
Penjelasan pasal 1 berbunyi, '' ...Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu (Confusius). Hal itu dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.
Karena enam macam agama ini adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD 45, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan yang diberikan oleh pasal ini.''
Dalam dialog yang digagas LBH Jakarta akhir pekan lalu, terjadi perdebatan panjang ketika muncul pemikiran untuk melakukan judicial review terhadap Penpres No 1/1965. Sebagian peserta dialog mendukung usulan agar Penpres No 1/1965 diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan dengan UUD 45.
Berbeda dengan sebagian peserta diskusi, anggota Komnas HAM Chandra Setiawan mengingatkan, UU No 1/1965 seharusnya tidak ditafsirkan sebagai aturan diskriminatif. UU ini selain menyebutkan adanya sebagian agama termasuk Kong Hu Cu juga mengakui agama dan panghayat kepercayaan yang disebut-sebut sering menjadi korban praktik diskriminatif.
Hal tersebut terlihat dari isi penjelasan UU No.1/1965 yang menyebutkan bahwa agama Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Tao tidak dilarang oleh pemerintah. '' Mereka semuanya diberi jaminan yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD 45 asal tidak melanggar ketentuan yang lain,'' ungkapnya.
Namun Ahmad Baso mengingatkan, berbeda dengan agama -agama yang disebutkan Chandra Setiawan, posisi para penghayat kepercayaan memang sangat lemah jika merujuk pada isi pasal-pasal dalam Penpres tersebut. Pasal 2 ayat 2 Penpres tersebut malah secara khusus mengancam para penghayat yang melanggar ketentuan mengenai penyalahgunaan dan penodaan agama.
'Memang benar penghayat kepercayaan bukan merupakan agama. Tetapi mereka telah ada di Indonesia jauh sebelum agama-agama besar tersebut datang ke wilayah yang sekarang menjadi Indonesia ini. Seharusnya peraturan-peraturan yang memberi peluang terjadinya praktif diskriminatif harus dicabut dengan prosedur hukum yang tersedia,'' tegasnya.
Next Page: 1 | 2 |
|