Presiden Baru dan Hambatan Pelaksanaan Ibadah
Wednesday, Oct. 27, 2004 Posted: 8:26:30PM PST
SUATU kenyataan yang tak bisa disangkal jika kita berbicara tentang identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan, yang bahkan bersifat multidimensional. Kemajemukan suku, ras, etnik, golongan dan agama adalah warna dasar dan napas yang membuat Indonesia memiliki nilai yang unik dan spesifik. Dan siapa pun mengakui hal itu.
Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Menko Polkam dalam ceramah di depan Sidang MPL Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Parapat, Sumatera Utara, 16 November 2001, menegaskan bahwa pluralisme adalah salah satu nilai dasar yang tak boleh dilupakan ketika kita berbicara tentang kerangka bernegara di negeri ini.
Menurut SBY, Indonesia adalah negara yang majemuk. Di satu sisi kemajemukan merupakan kekayaan, tapi di sisi lain menjadi suatu kerawanan. Itulah sebabnya the founding fathers pertama-tama mengatakan bahwa kita berbeda-beda tapi satu (Bhinneka Tunggal Ika); dan itulah yang mendorong Kongres Pemuda 1928 merumuskan "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa".
Siapa pun yang memimpin di ne- geri ini, kata SBY, elite manapun, partai politik mana pun yang tumbuh dan berkembang di negeri ini, pertama-tama harus menyadari bahwa pluralisme adalah nilai dasar yang harus diadopsi dan diimplementasikan.
Pernyataan SBY tiga tahun yang lalu itu amat penting dan strategis, justru pada saat ini ketika ia telah tampil sebagai presiden terpilih RI 2004-2009 bersama-sama Jusuf Kalla sebagai wakil presiden; dan ketika power berada di tangannya. Apakah ia akan konsisten melaksanakan apa yang ia ucapkan tiga tahun yang lalu itu?
Para anggota MPL PGI yang berhimpun di Parapat, 16 November 2001, memberi apresiasi hangat merespons ceramah Menko Polkam; dan kini mereka sedang menunggu apakah isi ceramah yang sarat dengan pemikiran cerdas dan bernas itu mampu direalisasikan dalam tindak nyata oleh Sang Presiden?
Gedung Gereja
Sikap diskriminatif dan pelecehan terhadap agama dalam berbagai ketentuan perundangan dan yang terwujud melalui bentuk-bentuk praktis seharusnyalah tidak boleh terjadi dalam sebuah Negara yang ber-Pancasila. Apalagi hal itu dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945.
Namun di lapangan, kenyataan sebaliknya yang justru terjadi. Gereja-gereja dan umat Kristiani di Indonesia acapkali mendapat perlakuan diskriminatif dari oknum pemerintah dan sekelompok warga bangsa. Dalam konteks pembangunan gedung gereja dan pelaksanaan kebaktian amat terasa sikap diskriminatif itu.
Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI) mencatat bahwa sejak Indonesia Merdeka hingga berakhirnya pemerintahan BJ Habibie 20 Oktober 1999, tercatat 611 gedung gereja yang ditutup, dirusak atau dibakar di seluruh wilayah Indonesia.
Jumlah ini tentu akan bertambah terus setiap hari. Pada 7 Juni 2004 lalu dilaporkan ada empat gereja dirusak massa di Pamulang, Jakarta Selatan, disertai penganiyaan terhadap pendeta dan warga jemaat. Hal yang amat tragis adalah perusakan itu terjadi tatkala warga jemaat sedang melakukan ibadah di gereja tersebut.
Gangguan terhadap umat beragama yang sedang melaksanakan ibadah adalah wujud adanya sikap barbar, arogan dan pelecehan agama dari sekelompok orang yang sulit diterima bisa terjadi dalam Negara yang mengklaim bahwa bangsanya adalah bangsa yang religius. Realitas itu makin diperparah dengan penembakan yang dilakukan terhadap Pendeta Susianti Tinulele di Poso, 18 juli 2004 yang hingga kini belum bisa ditangkap penembaknya.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|