SARA, Sumber Konflik yang Anggun
Tuesday, Oct. 19, 2004 Posted: 6:02:23PM PST
KONFLIK Polmas-Mamasa kembali berdarah. Penyerangan yang dilakukan kelompok pro-Mamasa di Kecamatan Aralle, Jumat sampai Sabtu pekan lalu, menewaskan dua warga kontra, yaitu Muis (42) dan seorang balita. Selain banyak yang menderita luka-luka, puluhan rumah dan lumbung padi pun dibakar-yang berakibat hangusnya satu rumah ibadah.
Sesungguhnya persoalan konflik ini merupakan buntut dari pemekaran wilayah di era otonomi daerah. Otonomi daerah ternyata bukan hanya memberi harapan dan peluang, tetapi juga tak bisa membendung timbulnya konflik yang mengancam sistem dan sendi-sendi kehidupan.
Tatkala Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) yang luasnya 4.781,53 kilometer persegi dimekarkan menjadi dua kabupaten, Polmas dan Mamasa, otomatis dua wilayah itu terbagi dua. Akan tetapi, membagi dua wilayah di tiga kecamatan Aralle, Tabulahan, dan Mambi (kemudian disebut ATM) tak semudah membalik telapak tangan. Tatanan masyarakat yang hidup beribu-ribu tahun terbentuk itu tidak bisa begitu saja dipisahkan.
Akhirnya muncullah dua kubu; satu kelompok masyarakat yang ingin tetap bergabung dengan kabupaten induk (Polmas) serta sekelompok lainnya yang menghendaki bergabung dengan kabupaten baru (Mamasa). Yang setuju bergabung dengan Mamasa disebut pro-Mamasa dan yang setuju Polmas disebut kontra-Mamasa.
Perbedaan kelompok masyarakat ini tak lepas dari berbagai faktor, antara lain kesamaan sejarah, budaya, etnik, dan agama. Kelompok yang kontra-Mamasa merupakan orang-orang Mandar dan pemeluk agama Islam (Muslim). Sementara kelompok pro-Mamasa adalah orang-orang (subetnik) Mamasa yang lebih dekat dengan etnik Toraja dan beragama Kristen/Katolik.
Homogenitas sosial penduduk di kawasan itu bisa dibilang sangat jelas. "Kalau di suatu dusun atau desa ada seorang beragama Islam, bisa dipastikan semua penduduk desa itu Muslim. Begitu juga kalau ditemukan ada seorang non-Muslim di sebuah desa lain, bisa dipastikan juga semua penduduk di desa tersebut non-Muslim," kata Moh Zakir Akbar, Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Masyarakat Pitu Ulunna Salu.
Tak bisa dimungkiri akhirnya konflik pemekaran wilayah itu menjelma menjadi konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). "Trauma tahun 1958 seakan muncul lagi. Ketika itu terjadi stigmatisasi bahwa warga Muslim di ATM merupakan gerombolan DI/TII. Sedangkan orang-orang Mamasa digunakan oleh pemerintah dalam Operasi Perlawanan Rakyat (OPR)," kata Zakir.
Dengan kondisi seperti itu, muncullah kecemasan-kecemasan. Kelompok pro-Mamasa tidak ingin bergabung dengan Polmas karena mereka bisa menjadi minoritas. Sebaliknya, kelompok kontra-Mamasa tidak mau bergabung dengan Mamasa karena mereka bisa juga menjadi minoritas.
Di samping itu, orang-orang di ATM yang kontra-Mamasa merasa keturunan dari tujuh kerajaan Mandar di kawasan pegunungan (Pitu Ulunna Salu) yang pada tahun 1610 bersumpah tak ingin berpisah. Sebetulnya, dari tujuh kerajaan itu, dua di antaranya pro-Mamasa, yaitu Tabang dan Bambang. Dua lainnya, Rantebulahan dan Matangnga, sudah tak bermasalah, masuk wilayah Polmas.
Yang mengerikan selama setahun terakhir ini sudah tiga kali terjadi kerusuhan. Pada 29 September 2003 warga pro-Mamasa menyerang permukiman kelompok kontra, sebagai balasan aksi pelemparan rumah warga pro-Mamasa. Tiga warga dari kelompok kontra tewas, yaitu Nurdin (35), Hamdi (40), dan Abdul Hakim. Ribuan orang yang dicekam ketakutan segera mengungsi. Namun, hingga saat ini pembunuh ketiga orang itu belum juga ditangkap.
Peristiwa kedua pecah lagi akhir Juli sampai awal Agustus lalu. Warga pro-Mamasa memblokir jalan di kawasan Desa Bambang Buda, Kecamatan Mambi. Kendaraan tidak bisa lewat sehingga lalu lintas pun lumpuh. Sebaliknya, warga kontra membalas dengan memblokir jalan di kawasan Pokko, Kelurahan Anreapi, Kecamatan Anreapi, dekat Polewali (Polmas).
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|