Masyarakat Bisa Ajukan Judicial Review terhadap SKB Dua Menteri
Monday, Oct. 11, 2004 Posted: 4:15:35PM PST
Umat beragama di Indonesia yang merasa dirugikan dengan produk hukum Surat Keputusan Bersama (SKB) No 1 Tahun 1969 tentang Pendirian Tempat Peribadatan dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung dengan pendekatan kasus seperti penutupan tempat ibadah di Ciledug, Tangerang. Demikian pemberitaan harian Suara Pembaruan.
"Saya kira sekarang merupakan saat yang tepat bagi masyarakat untuk melakukan aksi dengan mengajukan judicial review atau gugatan terhadap hak uji materiil keputusan pemerintah berupa SKB dua menteri tentang pendirian tempat ibadah yang mendapat gangguan dari sekelompok anggota masyarakat. Prinsip pluralitas dan keberagaman harus menjadi dasar utama gugatan," ujar ahli hukum dari Universitas Pelita Harapan, Dr Lodewijk Gultom dalam Konsultasi Nasional tentang Hubungan Negara, Agama, dan HAM di Cipayung, Bogor, Kamis (7/10).
SKB Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pendirian Tempat Peribadatan tersebut ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dan Menteri Agama KH Moh Dahlan tanggal 13 September 1969.
Menurut Gultom, sebelumnya tentunya masyarakat yang ingin mengajukan judicial review harus mengumpulkan bukti-bukti serta sejumlah alat ukur pembuktian secara tepat, akurat dan jelas agar dapat dibuktikan di Mahkamah Agung bahwa SKB tersebut benar-benar merugikan dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dikatakan, prinsip keadilan, kehati-hatian dan kebenaran harus benar-benar diperhatikan dalam pengajuan hak uji materiil tersebut. Dengan demikian SKB akan diperbaiki sehingga ada nuansa-nuansa azas keadilan seperti yang diinginkan seluruh masyarakat bisa terpenuhi.
"Penegakan hukum dan HAM serta perumusan peraturan pemerintah memang menjadi tanggung jawab negara, sehingga negara perlu membuat sebuah kebijakan yang senantiasa sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya pada masa sekarang dan yang akan datang. Jika masyarakat ingin melakukan revisi atau perbaikan bahkan mencabut SKB itu, maka kasus Ciledug dan sejumlah kasus lainnya dapat dijadikan sebagai alat bukti judicial review," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI), Dr AA Yewangoe menegaskan, salah satu unsur penting di dalam hak asasi manusia adalah kebebasan untuk mengungkapkan perasaan kepada Tuhan melalui ibadah, dan sebagainya. Termasuk di sini menyatakannya di hadapan umum. "Salah satu pengungkapkannya adalah dengan simbol-simbol yang bisa diterima dan dijamin, seperti rumah ibadah," ujarnya.
Dalam kenyataannya, khususnya di beberapa tempat di Jawa dan beberapa tempat lainnya, hal ini tidak selalu menjadi kenyataan. Atas dasar SKB, sejumlah penduduk mencegah pembangunan rumah-rumah ibadah. Bahkan tidak jarang pula atas perintah pemerintah daerah.
Sedangkan Sekretaris Yayasan Lembaga Advokasi dan HAM, MR Siahaan menegaskan, suatu agama yang ada di dunia ini harus dipahami sebagai hak asasi manusia yang paling hakiki, seperti tertuang dalam pernyataan umum HAM PBB.
"Kita tahu, masyarakat Indonesia secara ideologis dan sosiologis memiliki komitmen keberagamaan yang tinggi. Agama diyakini sebagai hak pribadi yang paling asasi, memiliki implikasi sosial yang sangat kompleks dan sensitif. Namun demikian kenyataanya, di tengah meningkatnya kesadaran terhadap HAM dan demokrasi, kita masih belum terbebas dari ancaman kekerasan yang terkadang bermuatan politis keagamaan," paparnya.
Next Page: 1 | 2 |
|