Agama Mesti Ditempatkan Kembali pada Jalurnya
Thursday, Oct. 7, 2004 Posted: 7:54:55PM PST
JAKARTA - Agama mesti ditempatkan kembali pada jalurnya secara tepat, yaitu sebagai landasan moral dan etik bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Hukum-hukum agama mesti dihindarkan agar tidak menjadi hukum positif. Ini berarti yang berlaku adalah hukum sipil.
"Tentu saja adalah panggilan para pemimpin agama untuk menafsirkan apakah dalam hukum-hukum sipil itu, berbagai prinsip kehidupan etik dan moral sebagaimana dikandung oleh agama-agama telah tercakup," demikian dikatakan Ketua Majelis Pekerja Harian PGI, Dr AA Yewangoe dalam Konsultasi Hukum Nasional Hubungan Negara, HAM dan Agama di Cipayung, Bogor, Selasa (5/10) malam.
Pembicara lain yang tampil pada acara tersebut antara lain, Dr Andang Listio Binawan SJ dari Koferensi Waligereja Indonesia (KWI), Hadi Suripto, Sekretaris Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Jo Priastana dari Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), Dr Sudharnoto Abdul Hakim dari Lembaga Penegakan Supremasi Hukum dan HAM, PP Muhammadiyah dan Sumamiharja dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).
Menurut dia, hal itu dilakukan dengan cara membangun jaringan kerjasama, komunikasi dan interaksi di antara anak bangsa yang sangat beranekaragam ini. Menempatkan diri dalam isolasi, sama sekali tidak menolong kerukunan hidup. Pada saat yang sama, tentu saja berbagai perangkat hukum yang terkesan diskriminatif mesti dihilangkan.
Dikatakan, berbagai Undang Undang dan Peraturan Daerah (Perda) yang tidak sesuai dengan UUD 1945 harus secara tegas dianulir, sehingga bangsa kita tidak hidup dalam ambivalensi hukum, yang menyebabkan juga berbagai ketidakpastian.
Dijelaskan, dengan diterapkannya UU No 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah, tidak bisa dimungkiri membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk menciptakan peraturan daerah yang kurang bisa memilah, mana urusan agama dan mana urusan negara.
"Bahkan himbauan seorang bupati agar mengenakan jilbab, sudah menunjukkan adanya otonomi yang hampir tidak terkontrol di dalam menginterpretasikan UU tersebut," ujarnya.
Namun yang lebih parah lagi, sambung Yewangoe, kalau UU tersebut juga dipakai sebagai dasar membuat perda-perda yang membatasi pembangunan rumah-rumah ibadah. Ironisnya, hal ini telah berlaku lama sebelum peraturan daerah kontroversial itu lahir. Ditambah dengan Surat Kepurtusan Bersama (SKB) mengenai pembangunan rumah ibadah yang sampai saat ini sulit dicabut.
Privatisasi Agama
Sementara itu, Dr Sudarnoto Abdul Hakim dari PP Muhammadiyah menegaskan dalam tuntutan terhadap privatisasi agama saat ini semakin kencang muncul di permukaan. Pasalnya, dalam konteks perubahan mendasar masalah-masalah kebangsaan ini, masyarakat agama semakin dituntut untuk bisa memberikan respons secara cepat.
"Privatisasi agama paling tidak mengandung beberapa makna, antara lain upaya serius untuk membebaskan diri dari kontrol dan intervensi pemerintah atau penguasa. Oleh karena itu, dalam rangka pembinaan kehidupan beragama, pemerintah cukup sebagai fasilitator dan bertanggung jawab besar untuk menciptakan iklim sosial, ekonomi dan politik yang kondusif yang mendorong terciptanya kehidupan beragama secara sehat," paparnya.
Next Page: 1 | 2 |
|