Sulit Dirikan Tempat Ibadah di Negara Ini
Suasana selesai misa di gereja Nabire, Papua, yang rubuh terkena gempa
Thursday, Oct. 7, 2004 Posted: 7:54:55PM PST
MINGGU (3/10) pagi, sebuah pesan singkat masuk ke pesawat telepon genggam seorang rekan, bunyinya agak provokatif, "perayaan misa kudus di Cileduk, Tangerang diserang warga". Bergegas informasi pun dicari kronologinya, dan seorang teman dengan kritis mengomentari, ini bukti bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri agama dan menteri dalam negeri No 1 Tahun 1969 tentang pendirian tempat ibadah perlu dicabut karena menimbulkan keresahan.
Peristiwa itu seolah menyadarkan kita bahwa kekerasan atas nama agama terjadi kembali di negeri ini. Alasan masyarakat melakukan tindakan kekerasan, penutupan, perusakan dan pelarangan beribadah bagi agama lain kadang sulit diterima dengan akal sehat misalnya, masyarakat tidak setuju ada rumah ibadah agama lain berada di lokasi ini atau di lokasi itu.
"Lalu, di mana kita harus beribadah kalau dilarang mendirikan tempat ibadah, dan bagaimana mempraktikkan cara hidup toleransi dalam sebuah negara yang pluralistik jika untuk mendirikan rumah ibadah dan beribadah saja susah. Di negeri ini mendirikan mal, kafe atau panti pijat jauh lebih gampang dibanding mendirikan tempat ibadah," ujar Ketua Yayasan Lembaga Advokasi Hukum dan HAM, Sugeng Teguh Santoso disela acara Konsultasi Nasional Tentang Hubungan Negara, Agama dan Ham di Bogor, Rabu (6/10).
Dengan setengah berkelakar, Pdt Siahaan dari Batam menimpali, di Batam jumlah panti pijat dan tempat hiburan, jumlahnya lebih banyak dari jumlah tempat ibadah. Ironisnya, Kepala Dinas Urusan Agama dan Haji Batam dengan tegas menolak menambah pembangunan sarana ibadah kembali.
Kalau sudah demikan kenyataanya, kepada siapa kita harus menuntut tanggung jawab kepada negara atau kepada pimpinan agama? Padahal, agama atau apapun namanya sebenarnya harus dipahami sebagai media atau alat untuk suatu tujuan yang suci yaitu menyembah Tuhan.
Menganut suatu ajaran agama yang disediakan di dunia ini harus dipahami sebagai hak asasi manusia paling hakiki, seperti tertuang dalam Pernyataan Umum Deklarasi HAM PBB yang menyebutkan, "tidak ada orang yang boleh dibatasi pemikiran-pemikirannya" dan siapapun bebas beragama, juga pindah agama. Setiap orang harus bebas beribadah dan menjalankan ajaran agamanya.
Menurut Sugeng, mencermati sensitifnya fenomena agama belakangan ini maka agenda mendesak yang perlu diperhatikan adalah pemahaman atas realitas keberagamaan yang diyakini oleh setiap pribadi warga negara.
Secara sosial mengandung konsekuensi pluralistik yakni semua warga negara menuntut ditegakan dan dihormati hak-hak keberagamaannya dalam tata pergaulan sosial dan politik. "Pluralitas agama yang merupakan realitas di Republik ini adalah kenyataan yang patut diterima sebagai wujud dari anugerah Tuhan. Sebab Tuhan pun tidak bermaksud menciptakan umatnya ini seluruhnya berada dalam satu agama," paparnya.
Kebebasan Beribadah
Pada kesempatan itu, Ketua Panitia Konsultasi Nasional Agama dan HAM, MR Siahaan menjelaskan, sesungguhnya Undang-Undang HAM dan UUD'45 telah mengatur tentang kebebasan beragama dan beribadat yang berarti bahwa secara konseptual pemerintah mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban untuk menjamin kepastian terlaksananya kebebasan dan pelaksanaan kegiatan atau aktivitas keberagamaan termasuk peribadatan.
Next Page: 1 | 2 |
|