Isu Agama Masih Berpotensi Ciptakan Kekerasan Politik
Wednesday, Aug. 11, 2004 Posted: 8:15:21PM PST

JAKARTA -- Berbagai tindakan kekerasan politik negara yang berselubung isu agama, telah mengoyak sendi-sendi kehidupan beragama di Indonesia. Beruntung masyarakat sudah lebih cerdas menyikapi dan merespons "proyek" yang dasar dan motifnya adalah politik dan kekuasaan.
Kesimpulan itu mengemuka dalam Dialog Publik "Aksi Kekerasan dalam Pandangan Agama-Agama" yang diselenggarakan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (3/8) siang. Tampil sebagai pembicara adalah sejumlah rohaniwan dan aktivis hak asasi manusia.
"Konflik di sejumlah daerah, seperti Poso dan Ambon adalah kekerasan politik. Agama hanya digunakan untuk mengalihkan perhatian, atau membakar persoalan baru," ungkap Romo Sandyawan SJ, aktivis Forum Sosial Jakarta. Kekerasan yang dilakukan secara profesional dengan memakai senjata mutakhir menampakkan keterlibatan aparat dalam konflik yang terjadi. "Yang melakukan penembakan Pendeta Susianty di Palu, misalnya, jelas adalah orang profesional. Ini kan berusaha di blow up kasusnya. Tapi persatuan agama di Poso dan Palu relatif lebih baik ketimbang di Ambon, sehingga mereka tidak gampang terpancing," kata Romo Sandyawan.
Sependapat dengan Romo Sandyawan, Ketua Persatuan Gereja Kristen Indonesia (PGI) Pendeta Nathan Setiabudi berpendapat, aksi kekerasan yang meletup di sejumlah daerah di Indonesia adalah hasil rekayasa kekuatan politik ekonomi yang tega mengorbankan rakyat dengan mengobarkan sentimen agama.
Mouvty Makarim, Kepala Bidang Operasional Kontras berpendapat, konflik ada yang bersifat laten di beberapa daerah, dan merupakan implikasi kebijakan politik di masa lalu. Misalnya, konsep kerukunan Orde Baru yang menuntut segala macam perselisihan ditekan sekeras mungkin agar tidak muncul di depan publik. "Ketika ada orang berbeda agama dan punya perbedaan pendapat, mereka tidak bisa berkonflik secara terang-terangan," kata Mouvty.
Baik Romo Sandyawan maupun Pendeta Nathan Setiabudi berpendapat, perlu kerja sama dalam tataran kemanusiaan. (E-9)
Suara Pembaruan
|