Seminar Transparansi Anggaran dalam Perspektif Agama-agama
Pengelolaan dan Peruntukan Anggaran Harus Dilakukan Secara Transparan
Friday, Dec. 24, 2004 Posted: 9:22:47AM PST
Menjalankan transparansi anggaran adalah sebuah kewajiban menurut kaidah agama. Dalam pandangan Kristen, agama bisa melakukan dua hal dalam mengimplementasikan perannya dalam transparansi anggaran.
Demikian disampaikan Pendeta Dr Albertus Patty dari Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung pada seminar "Transparansi Anggaran dalam Perspektif Agama-Agama" yang diselenggarakan Bandung Institute on Governance Studies (BIGS) di Bandung, 22 Desember.
Ia mengatakan dua hal dalam peran implementasi agama. Pertama, agama harus berkontribusi untuk memberikan kesadaran kritis kepada umatnya untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Umat didorong untuk memahami haknya sekaligus mengontrol elite politik. Kedua, agama memberikan landasan etik dan moral yang digali dari kekayaan nilai-nilai luhur agama.
Pada diskusi itu, selain perwakilan agama Kristen Protestan juga hadir agamawan lainnya seperti, cendekiawan Muslim Prof Dr Jalaluddin Rakhmat, Robert Ari Novianto SE (Fakultas Filsafat Unpar Bandung), Sucino (Vihara Pipassanagraha), dan Adi Soeripto MBA (Parisadha Hindu Dharma Indonesia).
Menurut Albertus, komitmen serta tanggung jawab yang dipenuhi oleh kejujuran dalam pengelolaan uang rakyat bisa didapat melalui pembatinan nilai-nilai agama. Tetapi, komitmen tersebut juga tidak boleh tergantung pada kemauan dan kehendak pengelolanya, dalam hal ini adalah pemerintah.
"Oleh karena itu, pengelolaan dan peruntukan anggaran harus dilakukan secara transparan dengan membuka seluas-luasnya partisipasi rakyat sebagai pemiliknya."
Ia juga mengingatkan dalam pandangan Protestan manusia adalah sekaligus makhluk yang serupa dengan Allah dan juga makhluk yang berdosa. "Kebanyakan manusia yang berdosa itu adalah yang dikuasai oleh nafsunya pada uang dan kekuasaan. Keinginannya memberontak pada Allah, tetapi inti pemberontakannya adalah bahwa manusia ingin menjadi sama seperti Allah. Oleh karena itu, ia mempersetankan Allah dan sesama, ia memperalat Allah untuk mengabsahkan nafsunya pada uang dan kekuasaan." papar Albertus lagi.
Hal senada dilontarkan pula oleh agamawan lain. Cendekiawan Muslim Prof Dr Jalaluddin Rakhmat mengatakan, selama ini berkembang paradigma yang salah kaprah dalam praktik beragama di lingkungan masyarakat.
"Para pejabat misalnya, kerap menganggap bahwa ibadah ritual seperti shalat, berzakat, kemudian beribadah umrah dan haji hingga berkali-kali dianggap dapat menghapuskan atau mencuci kemaksiatan merampas hak-hak rakyat," urainya.
Jalal mengatakan, dalam perspektif Islam, pemecahan untuk penyalahgunaan dana rakyat harus dilakukan dengan pendekatan individual dan sosial sekaligus. "Pendekatan individual dilakukan dengan mensyaratkan dua nilai dasar yang harus dimiliki oleh para pejabat, yaitu kemampuan (competency, proficiency, expertise) dan kejujuran (integrity, trustworthiness, truthfulness)," ujarnya.
Yunita Tjokrodinata
|