Warga Inggris Heningkan Cipta Sepekan Pasca Ledakan Bom di London
Friday, Jul. 15, 2005 Posted: 10:17:21AM PST
|
Para staf stasiun dan warga mengheningkan cipta selama dua menit untuk mengenang korban pemboman London di stasiun King's Cross di London pusat, 14 Juli 14 2005. Ibukota Inggris itu memimpin seluruh Eropa yang ikut bergabung dalam keheningan selama dua menit untuk menandai peristiwa pemboman 7 Juli yang telah menewaskan 53 korban. REUTERS/Toby Melville |
|
Para pemimpin religius berbicara kepada kerumunan, di lapangan Trafalgar Square London, Kamis 14 Juli 2005, dalam sebuah acara untuk mengenang korban serangan ledakan kemarin di kota itu, yang telah menewaskan setidaknya 53 jiwa. Ditengah berbicara adalah Sir Jonathan Sacks, Rabi Kepala dari United Hebrew Congregations of the Commonwealth. Kedua dari kiri adalah Cardinal Archbishop of Westminster, Kardinal Cormac Murphy-O'Connor. Kedua dari kanan adalah Uskup London The Rt. Rev. Richard Chartres. (AP Photo/Remy de la Mauviniere) |
|
Sebuah pesan religius ditaruh di depan St Pancras Parish Church di London, yang berdekatan dengan kejadian pemboman minggu kemarin. (AFP/Carl de Souza) |
Sepekan berlalu setelah rangkaian ledakan bom mengguncang Kota London. Pada hari Kamis, 14 Juli 2005, tepat pukul 12.00 waktu London, lonceng Big Ben berdentang menandai masa mengheningkan cipta selama dua menit. Warga London dan wisatawan menghentikan semua kegiatan untuk menundukkan kepala sejenak bersama Perdana Menteri Tony Blair dan Ratu Elizabeth II.
Di berbagai lokasi di kota London, tulisan Satu Kota, Satu Dunia terpampang sebagai seruan kepada warga dari berbagai latar agama, ideologi dan kebangsaan agar bersatu dalam dukacita. Dan memberi dukungan bagi keluarga 52 korban yang tewas dan lebih dari 700 korban cedera akibat rangkaian ledakan bom di stasiun King’s Cross pekan kemarin.
Kepolisian London juga telah memastikan rangkaian ledakan itu adalah aksi bom bunuh diri. Polisi telah mengenali empat tersangka pelaku peledakan, yang keempatnya adalah warga negara Inggris, tiga orang di antaranya keturunan Pakistan dan seorang berdarah Jamaika.
Sandra Pasaribu
|