Iman, Agama, Modernitas: Sebuah Momen Genting Dalam Konferensi WCC
Thursday, Jun. 9, 2005 Posted: 3:20:27PM PST
|
08 Juni 2005. Dr Asghar Ali Engineer, Muslim, India; Dr Kezevino (Vinu) Aram, Hindu, India; Swami Agnivesh, Hindu, India; Rabbi Naamah Ezrahi Kelman, Yahudi, Israel; Rev.Prof. Valson Thampu, Kristiani, India; Dr Parichart Suwanbubbha, Buddhist, Thailand |
|
Foto grup dari konferensi "Momen Genting Dalam Dialog Antar Agama " pada tanggal 8 Juni. (Peter Williams / WCC) |
|
Sesi briefing pers 7 Juni. (kiri ke kanan) Rev. Dr. Samuel Kobia, Sekretaris Jenderal WCC, H.H. Catholicos Aram I, Lebanon, Mrs Heba Raouf Ezzat, Muslim, Mesir, Dr. Wande Abimbola, Agama Tradisional Afrika, Nigeria (Peter Williams/WCC) |
Dialog antar agama perlu untuk bergerak melampaui pertukaran akademis untuk terlibat dengan komunitas-komunitas lokal, yang beberapa diantaranya bersikap memusuhi ajakan dialog, menurut para pemimpin iman yang berbicara di Jenewa kemarin.
Para perwakilan dari komunitas-komunitas iman di dunia mengeksplorasi hubungan antara dialog dan tindakan pada hari kedua dari sebuah konferensi international mengenai "Momen Genting Dalam Dialog Antar Agama " yang diselenggarakan Dewan Gereja Sedunia (World Council of Churches-WCC), 7-9 Juni 2005.
"Kita harus bergerak dari dialog antar orang asing ke dialog antar tetangga," saran Rev. Valson Thampu, (Gereja India Utara) seorang pemimpin dalam gerakan keadilan sosial. "Dalam dunia yang terglobalisasi, semakin banyak agama berkerumun ke dalam lingkungan saya. Tetapi saat anda mencari tetangga anda dan membantu mereka, anda secara tidak sengaja akan menemukan Tuhan di dalam orang lain."
Intervensi oleh beberapa pembicara menekankan adanya jurang dialog global diantara spesialis yang berpikiran sama, dan ketegangan antar lingkungan yang dapat membentuk realitas di lapangan.
Swami Agnivesh, seorang pemimpin spiritual India dan aktivis sosial, menekankan dampak terbatas dari dialog di level lokal.
"Bersama-sama kita perlu menangani isu-isu penting yang membayangi dunia. Tetapi kita juga harus dapat melihat bahwa agama telah menjadi bagian baik dari masalah maupun solusi."
Rabbi Naamah Kelman, rabi wanita pertama yang ditahbiskan di Israel, menggambarkan dilema ini. "Saya hidup di Timur Tengah, sebuah tempat yang sangat mudah berubah. Disana, agama tampaknya hanya mampu untuk memompa kebencian, prasangka, kekerasan. Sedikit suara-suara religius yang menyuarakan toleransi, keterbukaan dan keadilan sosial. "
Tetapi, situasi konflik juga menstimulasi orang untuk turut campur dan mengambil tanggung-jawab. Bagi Agnivesh, "dunia sekarang diarahkan untuk sebuah pergantian spiritualitas sosial yang mana menopang nilai-nilai spiritual utama bagi semua iman: kasih, welas asih, dan keadilan. Itulah spiritualitas yang nyata."
Mengingatkan peserta, Sekjen WCC Rev. Dr. Samuel Kobia menanyakan, "Bagaimana kita bisa hidup bersama-sama (dalam) keberagaman dan perbedaan kita di dunia yang satu?" Moderator WCC Catholicos Aram I lebih jauh lagi mendesak konferensi itu untuk menolong agama-agama yang ada di dunia untuk bergerak melampaui hanya kebersamaan menuju komunitas yang sejati, dan memupuk sebuah spiritualitas yang berefleksi, hidup dan bekerja bersama.
"Agama harus bertindak bersama dan dengan mendesak. Mari kita berpartisipasi dalam transformasi Tuhan atas dunia-Nya. Mari kita mengkomitmenkan diri kita sendiri untuk membuat kemanusiaan lebih manusiawi. Situasi dunia baru dengan kompleksitasnya, ketidakpastian dan tantangan memanggil sebuah dialog yang kredibel, kerjasama yang lebih besar dan kolaborasi yang lebih dekat antar agama-agama," pinta Aram I.
Dr Heba Raouf Ezzat, seorang ilmuwan politik Islam dari Mesir dan penulis untuk situs "Islam Online", mensketsakan sebuah visi yang berbeda dari jaman postmodern. Dalam kelaparan kita akan identitas, katanya, jumlah orang yang kembali ke iman meningkat, namun tidak harus ke agama institusional dan yang diorganisir. Konflik yang sesungguhnya adalah bukan antara peradaban atau agama, tetapi antara kemanusiaan dan anti kemanusiaan, tunjuknya. Kita berbagi sebuah kondisi manusia yang sama, dan peran agama adalah "untuk menjaga, merawat dan mengamankan peradaban " dalam sebuah jaman yang benar-benar bermusuhan akan hal itu.
Next Page: 1 | 2 |
Sandra Pasaribu
|