Perlunya Spiritualitas Feminis
Oleh: Paulinus Yan Olla
Friday, May. 27, 2005 Posted: 11:19:27AM PST
TERPINGGIRKANNYA perempuan dan ketertindasannya dalam tatanan hidup publik oleh para pejuang pembebasan perempuan dituduhkan asal-muasal pembenarannya pada agama. Agama dilihat sebagai sumber legitimasi ketidakadilan terhadap perempuan. Hal itu mungkin tepat dalam sejarah panjang tradisi Yudaisme dan kelak Kristianisme.
Sejarawan Yahudi abad pertama, Flavius Josephus, mencatat di zamannya dalam segala hal perempuan lebih rendah daripada pria. Rabi Judah, sezaman dengan Flavius, bahkan menyatakan, "a man must pronounce three blessings each day: Blesed be the Lord who did not make me a heathen...blessed be he who did not make me a woman ... blessed be he who did not make me an uneducated person," (cf HL Strack and P Billerbeck, Kommentar zum Neuen Testament, 1893, 2: 495). Atas landasan yang demikian dapat dipahami pada abad-abad pertama Yudaisme para rabi tidak bisa menerima murid perempuan atau bercakap dengan mereka.
Ajaran di atas dapat dipahami karena berlandas pada teks suci yang menasihatkan untuk menghindari perempuan. Perempuan dilihat sebagai sumber bencana karena menjatuhkan dan menyelewengkan pikiran pria dari hukum Tuhan. "Kejahatan laki-laki lebih baik daripada kebajikan perempuan, dan perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista (Sirakh 42: 12-14).
Menjadi tidak mengejutkan jika pandangan itu memunculkan diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan dalam masyarakat Yahudi mendapat status sebagai setengah manusia, berada di bawah dominasi pria dan tidak dapat dijadikan, misalnya sebagai saksi di pengadilan. Ajaran Rabi Hillel bahkan membenarkan diceraikannya perempuan oleh suaminya bila sang istri melakukan kesalahan sepele seperti makanan hangus karena salah memasak.
Pandangan terhadap perempuan dalam tradisi Yahudi kemudian berkembang sejalan dengan munculnya Kristianisme. Yesus dalam pandangan kaum feminis adalah feminis karena selain mengajar juga meninggikan status perempuan yang ditandai dengan subordinasi perempuan terhadap pria (cf. Lukas, 10: 38-42). Pernyataan Paulus (cf. Galatia 3: 28) pun diapresiasi sebagai suatu "magna charta kemanusiaan" karena menekankan kesetaraan manusia berpangkal pada iman akan Yesus.
Kendati terdapat reformasi dan perkembangan dalam mengevaluasi status perempuan, kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan ternyata seakan tak terbendung. Perubahan paradigma keagamaan Yahudi maupun Kristen dalam cara pandangnya terhadap perempuan tampak tidak membuahkan hasil.
SETIAP tanggal 8 Maret perempuan di seantero bumi meneropong diri. Indonesia secara khusus setiap tanggal 21 April melakukan hari renungan khas untuk perempuan berpangkal pada hari lahir RA Kartini (1879-1904). Sederetan nama dapat dijejer untuk memperlihatkan betapa perempuan ikut andil dalam kancah hidup publik Indonesia.
Kendati demikian, derita perempuan menjadi drama berkepanjangan. Penanganan masalah perempuan belum memuaskan seperti disebutkan dalam catatan akhir tahun Komnas Perempuan (Kompas, 27/4/2000 dan 11/12/2001).
Demikian juga yang masih segar dalam ingatan, yakni nasib Suniati, pekerja rumah tangga (PRT) asal Indonesia yang menderita luka bakar parah di wajah, tangan, kaki, seluruh tubuh, setelah sebelumnya diperkosa majikannya di Riyadh, Arab Saudi (Arab News, 10/4). Dia hanya salah satu kisah dari 6.000 PRT Indonesia yang bekerja di Arab Saudi.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|