Tanpa Ekspresi, Tanpa Opini
Oleh: Eka Darmaputera
Thursday, Apr. 28, 2005 Posted: 1:48:23PM PST
SIKAP ”tanpa ekspresi dan tanpa opini”, jelas bukan sikap ideal seorang kristiani. Walau saya akui bahwa dari alkitab kita membaca, betapa pada saat-saat tertentu Tuhan kita bersikap diam, tak bersedia memberikan jawaban walau ditanya.
Contoh yang paling terkenal tentu adalah sewaktu Yesus menghadapi saat-saat terakhir kehidupan-Nya. Ketika Ia diadili dan dicecar dengan pertanyaan, apakah Ia benar mengaku sebagai raja orang Yahudi. Lalu penulis Injil menulis, ”Tetapi Ia diam saja”.
Ini membuat pejabat yang mengadili-Nya mulai frustrasi. Katanya, ”Mengapa engkau tak mau menjawab pertanyaanku itu? Bukankah ini kesempatan untuk memberi kesaksian yang meringankan? Dan aku berwewenang membebaskanmu atau pun menghukummu?”
Mengapa Yesus diam saja? Tanpa ekspresi dan tanpa opini? Ada beberapa sebab yang dapat kita kemukakan. Pertama, karena Ia tahu bahwa jawaban apa pun yang Ia berikan, semuanya sia-sia belaka. Ia toh akan menuju ke Golgota, karena memang inilah yang Bapa kehendaki. Dan bila Bapa telah berkehendak, pejabat dunia mana yang memiliki otoritas untuk mengubahnya?
Kedua, kita mengenal prinsip Yesus bahwa Ia akan berbicara pada saat Ia harus berbicara–apa pun risikonya. Namun, Ia juga amat menghargai ”kata-kata”. Ia tak akan pernah mau menyia-nyiakan apa yang Ia ucapkan dari mulut-Nya. Artinya, Ia hanya berbicara, bila Ia tahu itu ada gunanya.
Karena itu, nasihat-Nya, ”Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu” (Matius 7:6). Bicaralah yang perlu, dan bicaralah seperlunya!
Ketiga, dengan berdiam diri itu, Yesus ingin pula memberikan sebuah teladan nyata, bahwa tujuan yang paling utama. dan paling mulia dari kata-kata kita, bukanlah membela kehormatan dan kepentingan diri sendiri. Maksud saya, baru berteriak keras-keras, ketika tubuh kita sendiri yang kena cubit.
Bukan! Yang paling mulia dan paling utama untuk kita ucapkan dengan mulut kita adalah puji-pujian kepada Allah, menyaksikan kehendak Allah, kebenaran Allah, dan kebaikan Allah.
Sebab itu, perhatikanlah! Berlawanan dengan kecenderungan alamiah setiap kita, Yesus justru diam—tanpa ekspresi dan tanpa opini—ketika nasib, kehormatan dan keselamatan pribadi-Nya menjadi taruhan. Tapi Ia bangkit, Ia tidak bisa diam, tatkala kekudusan Allah dicemarkan, ketika keadilan Allah dipalsukan, bila kebenaran Allah diinjak-injak. Ingat apa yang Ia lakukan di halaman Bait Allah?
***
YESUS juga diam, dan menolak memberikan kesaksian, bila dalam pandangan-Nya ”waktunya belum tiba”. Yohanes bercerita, bahwa ada saat-saat tertentu, di mana sebenarnya Ia sebenarnya dapat menarik manfaat sebesar-besarnya dan memperoleh popularitas yang setinggi-tingginya, andaikata saja Ia bersedia mendemonstrasikan siapa diri-Nya sebenarnya.
Saudara-saudara tiri-Nya melihat kesempatan emas ini. Mereka mendesak Yesus mau melakukan itu (Yohanes 7:4). Tapi Yesus menolak. Jawab-Nya, ”Waktu-Ku belum tiba” Yohanes 7:6).
Next Page: 1 | 2 |
|