Selamat Jalan Terri, Selamat Jalan Paus Yohanes Paulus II
Oleh: RP Borrong
Monday, Apr. 18, 2005 Posted: 6:17:49PM PST
Terri Schiavo akhirnya meninggalkan dunia ini, 31 Maret 2005, jam 9.05 pagi waktu Florida, Amerika Serikat. Ia menghembuskan napas terakhir di Hospice Woodside di Pinellas Park, Florida, persis 14 hari, sesuai prakiraan para dokter, setelah tube (asupan makanan-minuman) dicabut atas permintaan suaminya, Michael Schiavo.
Kontroversi kematian Terri sampai sekarang masih mengundang debat dan diskusi publik di Amerika Serikat. Bahkan reaksi dan respons dari berbagai belahan dunia mengalir, antara yang pro dan kontra, antara yang mengaku realistik dan yang mengaku berpengharapan-beriman pada mukjizat Tuhan.
Terri Schiavo-Schindler mengalami kerusakan otak yang parah dalam serangan jantung pada tahun 1990. Sejak saat itu, selama kurang lebih 15 tahun, ia menggantungkan hidupnya pada infus nutrisi.
Selama itu pula suaminya berjuang agar infus itu dicabut. Ia selalu beralasan bahwa seandainya Terri sadar, ia tidak menginginkan hidupnya dipertahankan secara artifisial dan lebih suka meninggal secara terhormat.
Sebaliknya, orangtua Terri, ayah-ibunya, Bob dan Mary Schindler, dan saudara-saudara kandungnya berpendapat sebaliknya. Mereka menganggap bahwa Terri tidak berada pada kondisi vegetatif persisten seperti yang ditetapkan para dokter yang merawat Terri. Orangtua Terri yakin bahwa Terri masih bisa membaik. Namun, pengadilan meluluskan permintaan Michael Schiavo dan memerintahkan mencabut infus nutrisi Terri sejak tanggal 18 Maret 2005.
Hari Sabtu, 26 Maret, Mahkamah Agung Florida menolak permohonan banding yang merupakan usaha terakhir dari orangtua dan saudara-saudara Terri. Sampai akhirnya Terri meninggal.
Mengapa kematian Terri begitu menarik? Karena kematiannya mengandung drama kemanusiaan yang masih menyisakan pertanyaan, kontroversi dan bahkan memecah opini publik Amerika dan masyarakat dunia. Kematian Terri begitu mengenaskan sampai-sampai keluarganya tak diizinkan mendampingi saat-saat ia menghembus napas terakhir.
Banyak komentar menghubungkan kematian Terri dengan kepentingan politik. Saya buta mengenai hal itu, tetapi secara moral, kematian Terri patut dikritisi karena akan menjadi tonggak sekaligus preseden bagi ribuan bahkan jutaan manusia yang mengalami kondisi seperti Terri.
Sulit mengategorikan kasus Terri ke dalam salah satu bentuk eutanasia. Yang jelas, pencabutan infus Terri dapat disebut sebagai suatu tindakan euthanasia involuntary karena yang berinisiatif menghentikan infus bukan lagi Terri, tetapi walinya, dalam hal itu suaminya. Kasus Terri dapat pula dikategorikan sebagai eutanasia alamiah sekaligus non-alamiah.
Bagi mereka yang beranggapan bahwa Terri berada pada status vegetatif menganggap bahwa eutanasia Terri adalah eutanasia alamiah. Artinya, sebenarnya secara alamiah Terri sudah lama meninggal tetapi hanya diperpanjang umurnya dengan alat bantu, yaitu infus nutrisi. Itu sebabnya, ketika infus dicabut, dengan sendirinya Terri akan menemui ajalnya secara alamiah sesuai kadar penyakitnya.
Inilah pendapat kubu Michael Schiavo, suami Terri dan para pendukungnya, termasuk pengadilan dan Mahkamah Agung Florida, yang didukung sebagian dokter yang menyatakan status Terri sebagai vegetatif persisten.
Next Page: 1 | 2 | 3 | 4 |
|