Perempuan dan Paskah
Oleh: Pdt. Augustien Kapahang-Kaunang, MTh
Thursday, Mar. 17, 2005 Posted: 9:33:15AM PST
Masih banyak kaum perempuan dari segala golongan umur dan dalam segala “strata” sosial yang hidupnya menderita.
Anak perempuan yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya hanya karena ia perempuan apalagi kalau ada saudaranya laki-laki yang dipandang lebih pantas melanjutkan sekolahnya karena ia yang utama. Anak gadis yang terpaksa kawin agar ia “berarti” daripada menjadi “beban” orang tua atau yang terpaksa menjadi tenaga kerja di luar daerah/luar negeri atau terpaksa menjadi pelacur. Ibu-ibu menjadi “babu” dalam keluarganya sendiri, ketika ia tidak dipandang sebagai teman hidup dari sang suami yang katanya mencintainya, malahan mengalami kekerasan fisik dan psikis. Ibu-ibu lanjut usia masih terus bekerja membanting tulang karena kemiskinannya, atau yang tidak lagi diperhatikan oleh keluarganya karena ia tidak”berarti”lagi bagi mereka. Sungguh menyedihkan kehidupan kaum perempuan. Apakah ini nasib atau takdir?
Pasti ini bukan nasib atau takdir. Tuhan Allah tidak pernah menghendaki apalagi menentukan perempuan untuk hidup menderita. Bukankah perempuan bersama dengan laki-laki diciptakan menurut Gambar-Nya.
Kalau begitu, apa yang menyebabkan masih banyaknya kaum perempuan yang hidupnya menderita? Perempuan menderita karena masyarakat kita dan tentu saja termasuk perempuan itu sendiri, melihatnya sebagai manusia yang tidak memiliki kemampuan seperti yang “dimiliki” laki-laki. Dalam hal ini, kita menyamakan antara yang kodrat dan gender.
Masyarakat kita sejak dahulu kala diatur menurut ukuran kaum laki-laki saja. Laki-laki yang menentukan dan pusat segala seluk beluk kehidupan ini, bukan hanya hidup manusia tetapi juga hidup alam semesta ini. Dalam hal ini kita mengenal istilah “patriarkat” dan “androsentris”. Kedua istilah ini selalu menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengapa kehidupan kaum perempuan menderita.
1.Setelah melewati abad 20 dalam mana isu kaum perempuan diangkat ke permukaan dan menjadi issue sentral baik dalam masyarakat dunia lewat PBB maupun dalam lingkup gereja-gereja sedunia (DGD), ternyata kaum perempuan masih harus bergumul untuk keluar dari penderitaannya. Sepertinya program PBB dan DGD tidak cukup kuat mempengaruhi hidup keseharian masyarakat pada umumnya dan jemaat pada khususnya. Diperlukan spirit bersama (perempuan dan laki-laki) berangkat dari tengah-tengah pergumulan konkrit masyarakat untuk keluar dari penderitaan itu.
Apakah penderitaan kaum perempuan yang satu juga menjadi penderitaan kaum perempuan lainnya ? Apakah penderitaan kaum perempuan menganggu kehidupan kaum laki-laki? Apakah penderitaan kaum perempuan mempengaruhi hidup bergereja ? Kalau yah, dan menurut saya yah, lalu bagaimana persekutuan, pemberitaan dan pelayanan gereja ?
2.Paskah adalah Kebangkitan Yesus. Kebangkitan Yesus membangkitkan manusia yang lemah, susah, miskin, tertindas, menderita. Secara kuantitas dan kualitas, kaum perempuan tergolong pada manusia yang lemah, susah, miskin, tertindas, menderita. Bersama dengan kaum perempuan yang mengalami berbagai kesusahan dan penderitaan inilah, kita menghayati Paskah. Paskah sungguh berarti kaum perempuan.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
Eva N.
|