Gereja dan Reorientasi Peran Sosial
Oleh: Ari Kristianawati
Saturday, Feb. 26, 2005 Posted: 4:40:27AM PST
Ada pernyataan menarik dari seorang pembicara dalam sebuah seminar, bertema: ”Reposisi Umat Kristiani menjelang Pemilu 2004”, yang diadakan sebuah gereja di Jakarta menjelang pemilu legislatif 5 April 2004. Pernyataan tersebut memuat dua realitas paradoks yang dialami oleh umat Kristiani yang terkait dengan ‘institusi” gereja. Pertama, pernyataan keprihatinan di mana gereja umat Kristiani semakin ”ketinggalan” dengan wacana sosial yang bergulir di tengah masyarakat.
Gereja masih saja berkutat pada persoalan ”ritual” dan penggenapan liturgis namun kurang memperhatikan kondisi sosial masyarakat, yang di dalamnya terhadap kelompok kecil umat Kristiani. Sehingga institusi gereja kurang respek atau kurang terdorong empati praksisnya dengan kondisi ketimpangan sosial di tengah kehidupan masyarakat.
Kedua, banyak gereja —yang dihadirkan oleh kelompok denominasi tertentu— yang semakin hanyut dalam persoalan skripturalistik dan mengekslusifkan diri dalam kegiatan yang jauh dari watak solider terhadap masyarakat. Sehingga tidak mengherankan pandangan dan praksis gereja seperti terjebak dalam ”ritus” formal yang diinterpretasikan sebagai satu-satunya bentuk penghormatan kepada karunia Tuhan.
Memang realitas yang disebutkan di atas, ada titik kebenarannya. Gereja —khususnya gereja Kristen— seperti kehilangan visi profetis dan praksis sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Gereja seperti ”menara gading” atau ”menara babel” yang hanya menjadi media jemaat untuk ”bersua” dengan Tuhan pada hari/tanggal yang diatur, namun tidak bisa berrelasi dengan alam realitas yang penuh ketidakadilan dan ketidakbenaran.
Gereja berhasil mendispilinkan ”jemaat” dalam ritual ibadah yang terjadwal namun gagal dalam ”mendisiplinkan” umat untuk bertindak praksis-orientatif bagi kelompok masyarakat yang berada dalam kondisi ketidakadilan. Gereja kurang berhasil membangun karakter kolektif umat kepada praksis sosial yang jujur, adil, dan bertanggung jawab. YB Mangunwijaya (almarhum) mengatakan, institusi gereja disebut gagal dalam membangun karakter kolektif umat kristiani apabila: Pertama, gagal memperbarui paradigma ”teologis”-nya dari paradigma yang bersifat konservatif ke arah yang transformatif.
Memihak Masyarakat Bawah
Gereja masih beranggapan bahwa eksistensi kelembagaannya hanya untuk ”membina” keimanan jemaat melalui aktivitas interpretasi tekstual terhadap ajaran Kitab Suci dan bukannya mendorong umat untuk mempraktikkan ajaran dalam kehidupan nyata. Lebih buruk, apabila ”metode berpikir” institusi gereja mengakomodasi mainstream pemikiran kekuasaan yang tidak adil.
Kedua, gereja kurang tanggap dan kurang bisa menempatkan sikap dan posisi institusionalnya terhadap kekuasaan politik dan kekuasaan modal. Gereja hanya menjadi ”kaki tangan” kekuasaan yang despotik untuk membantu menebarkan cara pandang dan materi program kekuasaan yang manipulatif. Gereja tidak bisa berposisi secara tegas untuk memihak nasib manusia yang berada dalam lingkaran kemiskinan struktural.
Dalam dimensi budaya, bangsa ini telah kehilangan nilai-nilai kearifan lokal yang
Next Page: 1 | 2 |
|