Kebebasan Bukan Suatu Kejahatan
Oleh: Ignatius Dachlan Setiawan
Wednesday, Feb. 23, 2005 Posted: 12:54:39PM PST

KUHP yang diberlakukan pada tahun 1917 dan kemudian menjadi acuan dan payung hukum bangsa Indonesia selama ini adalah warisan kolonial. Disusun jauh sebelum lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia. Kepentingannya sudah pasti, ditujukan untuk “melanggengkan kekuasaan kolonial.” Oleh karena itu, sudah pasti juga, KUHP produk zaman kolonial ini kurang melindungi kebebasan dan hak asasi manusia. Pada zaman Orde Baru (Soeharto) KUHP produk kolonial inipun menjadi alat kekuasaan yang sangat represif.
Sudah saatnya KUHP direvisi, Pemerintah sejak tahun 1982 telah mempersiapkan RUU-KUHP. Namun Revisi KUHP yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada periode 1999-2000 yang berjumlah 647 pasal menimbulkan banyak kontroversi dan koreksi dari berbagai lapisan masyarakat yang seharusnya ditangkap oleh pemerintah sebagai hal yang positif atau sinyal yang positif, bergulirnya dinamika dan dialektika yang kondusif dalam pusaran zaman yang bersinergi dengan berbagai komunitas manusia Indonesia dan membentuk kata “ya” sebagai kesepakatan yang bulat dan tidak terbantahkan. Masalahnya apakah pemerintah mau mendengar dan peka terhadap suara rakyatnya? Sudah banyak masukan dari berbagai elemen masyarakat yang menyuarakan kepentingan dan kebutuhannya dari sudut pandangnya masing-masing (wacana yang mengkayakan). Kini RUU KUHP yang disusun Departemen Hukum dan HAM yang berjumlah 727 pasal kembali diusulkan oleh Pemerintah untuk segera dibahas oleh DPR dari 31 RUU yang telah tersedia (Koran TEMPO, 26 Januari 2005, hal. 14).
Beberapa catatan penting bagi pembahasan RUU-KUHP :
1. Secara prinsip harus tegas dan jelas membedakan antara kebebasan dan kejahatan (mencuri, membunuh, memperkosa, korupsi, menyuap petugas, dsb). Ekspresi kebebasan yang berbuntut pada kejahatan seperti merusak milik orang atau penganiayaan. Misalnya, kasus perusakan rumah ibadah dan penganiayaan terhadap hamba-hamba Tuhan atau Pendeta, biasanya berakhir pada penutupan rumah ibadah sedangkan pelaku kejahatan bebas dari jerat hukum. Seharusnya hukum ditegakkan, sanksi pidana diberikan kepada pelaku tindak kejahatan. Bukan kebebasan (beribadah dan beragama) yang dihukum. Warga akan merasa aman dan nyaman bila aparat penegak hukum berhasil dalam menegakkan hukum pidana dengan baik, benar, konsisten dan adil (tidak berpihak pada pemegang kekuasaan, kekayaan, kelompok tertentu ataupun kelompok mayoritas). Karena prinsip hukum pidana sangat jelas : (a) melindungi setiap orang dari berbagai tindak kejahatan, (b) menjerat para pelaku tindak pidana ke muka hukum (supaya korban atau pihak yang dirugikan dapat meraih keadilan), (c) menimbulkan efek jera bagi setiap orang yang hendak melakukan kejahatan. Ironisnya, banyak produk hukum dijadikan alat untuk membungkam atau bahkan mematikan kebebasan. Misalnya, salah satu produk hukum yang juga merupakan produk yang dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Baru yang bersifat diskriminatif dan kriminogen, yaitu SKB No. 01/BER/MDN-MAG/1969 sampai saat ini menjadi alat pamungkas untuk tindakan-tindakan yang secara tegas melawan hukum yaitu : penutupan, penyegelan, perusakan dan pembakaran rumah ibadah, fasilitas pendidikan, sosial dan lain-lain di wilayah hukum Indonesia. Tentunya KUHP pun tidak diharapkan menjadi alat untuk memberangus atau mematikan kebebasan.
Next Page: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
Eva N.
|