Aceh dan Nias Pascatsunami
Kebangkitan Bagi Masyarakat Aceh dan Nias Untuk Memulai Kehidupan Baru
Monday, Feb. 7, 2005 Posted: 10:37:07AM PST
Kehidupan mulai lagi menggeliat di Aceh dan Nias. Ini kabar baik. Mimpi buruk gempa dan tsunami berangsur-angsur redup dari kehidupan. Memang, hal itu tidak dengan sendirinya berarti kehidupan sudah kembali ke posisi normal seperti sediakala. Sisa-sisa keganasan gelombang laut itu masih terlihat di mana-mana. Sampah yang menumpuk, rumah-rumah yang rubuh, garis pantai yang tergeser jauh ke darat. Bahkan, jenazah masih terserak di mana-mana.
Pendeknya, aroma bencana tercium di angkasa Aceh. Begitu menjejakkan kaki di Bandara Sultan Iskandar Muda, aroma aneh sudah mulai menampar kita. Ternyata kurang lebih tiga kilometer dari situ, terdapat pekuburan massal korban tsunami. Sangat mungkin aroma itu berasal dari situ. Karena begitu banyaknya jenazah yang dikuburkan, aroma aneh itu bisa saja merembes ke luar.
Aroma itu lebih tajam lagi ketika kita mengelilingi kota. Kendati sudah banyak sekali jenazah dievakuasi dan dikebumikan, diperkirakan masih banyak yang tertinggal. Reruntuhan gedung-gedung, jebakan-jebakan air, sampah-sampah yang menggunung, dan sebagainya belum semuanya dibersihkan. Diperkirakan di balik reruntuhan, sampah-sampah, dan jebakan-jebakan air itu, masih banyak jenazah. Berapa persisnya korban tsunami itu, hanya Tuhan yang tahu.
Di Nias, khususnya di Desa Sirombu dan Mandrehe, kerusakan cukup terlihat kendati dibandingkan dengan Aceh, skalanya kecil. Tentu saja ini tidak dimaksudkan untuk menganggap enteng penderitaan Nias karena betapa kecil pun korban, tetap harus dianggap sebagai tragedi kemanusiaan. Yang membedakan dengan Aceh adalah hampir semua jenazah korban di Nias sudah ditemukan dan dikuburkan secara layak.
Seolah-olah sudah merupakan hukum besi kehidupan, ada saja yang "memanfaatkan" bencana alam ini bagi keuntungan-keuntungan pribadi. Begitu kita menginjakkan kaki di bandara, beberapa orang sudah menawarkan tempat tinggal. "Apa bapa sudah punya tempat nginap?" seseorang bertanya. "Kalau belum ada, saya bisa menyediakan," lanjutnya. "Berapa biayanya?" saya menjawab. "Ah tidak terlalu mahal, paling-paling sekian juta untuk sekian hari tinggal."
Tentu saja ini bukan harga normal, tetapi siapa peduli? Mencari tempat menginap di Banda Aceh pada saat ini bukan hal sederhana. Maka memang batas antara menolong dan mencari keuntungan sangat cair hari-hari ini. Inilah pula gejala dari suatu masalah yang jauh lebih besar dalam menghadapi persoalan Aceh. Menolong Aceh atau mencari keuntungan sendiri. Lebih-lebih lagi pada tahap rehabilitasi dan pemulihan nanti.
Surat-surat kabar mensinyalir bahwa sudah sekian banyak orang yang berusaha mendekati persoalan Aceh dengan pendekatan proyek. Itulah alasannya, konon, mengapa unsur-unsur asing yang menolong di sana di-"imbau" untuk cepat-cepat keluar dengan argumentasi yang cukup "nasionalis" kendati dalam kenyataannya mengabaikan aspek kemanusiaannya.
Terlepas dari hal-hal menyedihkan ini, orang-orang Aceh sendiri mendambakan pertolongan tanpa embel-embel apa pun. Ketika kami menyerahkan bantuan sekadarnya kepada Rektor IAIN "Ar-Raniry" Prof Rusjdi Ali Muhammad, beliau berucap antara lain kami (rakyat Aceh) bukanlah manusia-manusia yang tersendiri. Kami juga membutuhkan uluran tangan dari orang lain.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|