Gerakan Oikoumenis Dan Perkembangannya
Polarisasi Gerakan
Thursday, Jan. 27, 2005 Posted: 8:42:06AM PST
Kita sependapat atau tidak, adalah kenyataan bahwa gerakan misi Kristen modern dicirikan oleh dua pola pendekatan; yang satu oikumenikal dan lainnya adalah evangelikal (di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan gerakan keesaan dan gerakan Injili).
Praktek dua pola pendekatan itu berlangsung secara struktural maupun teologis. Secara struktural, pendekatan oikumenis mulai menemukan identitasnya tahun 1910, ketika diadakan Konferensi Misi Internasional di Edinburgh, dan menemukan polanya pada tahun 1921, ketika dibentuknya International Missionary Council (IMC) atau Dewan Misi Internasional , sebagai tindak lanjut dari konferensi Misi Internasional Edinburgh 1910.
Kemudian, pada Konferensi World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gerja-gereja SeDunia di New Delhi, 1961, IMC diintergrasikan ke WCC menjadi Commission on World Mission and Evangelism (CWME-WCC) atau Komisi Misi dan Pekabaran Injil se-Dunia – Dewan Gereja-gereja Se-Dunia. Di lain pihak, hanya dua tahun setelah wadah oikumenis WCC dibentuk (1948), pada kovensi Internasional Evangelikal di Wondschoten, 1951, dibentuklah organisasi World Evangelical Fellowship (WEF) atau Persekutuan Injili Se-Dunia. WEF menjadi Wadah Internasional bagi berbagai organisasi Kristen Injili.
Secara teologis, pola pendekatan oikumenikal lebih menitikberatkan pada dimensi sosial, atau tepatnya anthroposentrisme dari Injil, dimana keselamatan itu berdampak sosial dan kemanusiaan secara keseluruhan. Dilain pihak, pola pendekatan evangelikal lebih menitikberatkan dimensi spriritual individu-individu dari Injil; yang berarti bahwa pertobatan pribadi merupakan kunci keselamatan manusia yang berdampak pada keselamatan dunia (orang yang tidak percaya) menjadi percaya kepada Yesus.
Polarisasi ini berkembang semakin kompetitif sejak 1961 sejak Dewan Misi Internasional diintegrasikan ke Dewan Gereja-gereja se-Dunia menjadi Komisi Misi dan Pekabaran Injil. Sejak itu orang-orang evangelikal mulai mengembangkan identitas mereka. Dua kongres internasional, yakni di Wheaton – Amerika Serikat dan di Berlin, pada tahun yang sama, 1966, dapat dilihat sebagai pondasi awal dari reaksi kompetitif terhadap golongan oikumenis. Kemudian, konferensi–koferensi misi dari WC dan kongres-kongres evangelikal dari WEF dan kelompok Lausanne yang diselenggarakan silih beganti sejak awal 70 –an merupakan indikasi dari polarisasi gerakan misi Kristen Modern.
Polarisasi, yang semua tumbuh dan berkembang di dunia Barat ini ternyata juga menyebar ke seluruh dunia dan telah menjadi fenomena global, khususnya di dalam Gereja-gereja Protestan. Strateginya sama, yaitu Institusionalisasi pemahaman tentang misi. Di tingkat regional Asia, misalnya pada satu pihak terdapat Christian Conference of Asia (oikumenikal) dan di lain pihak ada juga Asia Mission Association dan Evangelical Fellowship of Asia (Evangelikal). Dan di tingkat nasional, ada Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di satu pihak , dan di pihak lain ada Persekutuan Injili Indonessia (PII). Metode dan teologianya memang berbeda, yang satu lebih menitikberatkan segi anthropologi dari keselamatan, dan yang lain lebih menekankan segi transedental. Pola-pola ini menyentuh kehidupan Gereja sampai pada tingkat lokal, terutama di kota-kota, baik secara kognitif maupun praktis.
Next Page: 1 | 2 | 3 | 4 |
Nofem Dini
|