Jiwa-jiwa Berguncang (Komentar atas Bencana Sumatra)
Oleh: Rinny Soegiyoharto
Thursday, Dec. 30, 2004 Posted: 10:40:21AM PST
Tanah pusaka kembali berlinang duka. Belum kering luka hati kita akan derita saudara-saudara di Alor (Nusa Tenggara Timur) dan Nabire (Papua), tanpa peringatan, sehari setelah umat Kristiani memperingati Natal, bumi kembali bergoyang. Gempa tektonik disertai gelombang tsunami menggulung wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara.
Apakah bumi benar-benar sudah renta sehingga tubuhnya patah-patah? Namun manusia yang mendiaminya tidak memperoleh sedikit pun sinyal agar dapat bersiap-siap. Mungkin bumi memang tua-tua keladi. Semakin tua semakin aktif bergoyang. Tapi mengapa penduduk NAD yang terus bertubi diterjang derita?
Tsunami yang bergulung-gulung menelan korban lebih dari 25.000 jiwa penduduk Indonesia. Belum terhitung korban tsunami di negara lain yang juga mencapai ribuan jiwa. Bagaimana mungkin air mata tidak berlinang menyaksikan korban meninggal yang terserak di berbagai tempat.
Tayangan media televisi tentang situasi NAD yang tiada henti memperlihatkan deretan mayat anak-anak terbujur kaku, kalau dapat digambarkan, membiaskan ekspresi wajah tak mengerti yang sudah dingin. Ibu-ibu meraung histeris sambil menggendong mayat beku anaknya. Pemandangan yang mengundang seruan-seruan terpusat: Ya Allah! Dikaitkan dengan makna religius yang keliru; dosa siapakah ini?
Guncangan Jiwa
Di dalam lagu balada Untuk Kita Renungkan, suara khas Ebiet G Ade mengalunkan sepenggal kalimat: "...Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak berbenah..."
Berbenah di tengah bencana tentu bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Kerusakan materi, fisik, serta guncangan jiwa tak terelakkan. Jiwa-jiwa yang mangalami guncangan bukan hanya mereka yang berada di lokasi bencana saja, tidak hanya menimpa para korban.
Namun gempa bumi dan gelombang tsunami yang telah dinyatakan sebagai bencana nasional ini ternyata pula menggoncang jiwa masyarakat Indonesia yang menyaksikan korban berjatuhan dari kejauhan. Tangis manusia ada di setiap sudut, doa-doa dipanjatkan tak henti.
Rohaniawan Romo Mudji Sutrisno menuturkan dalam sebuah siaran televisi, bencana ini merupakan berkah di dalam keprihatinan, supaya kita mengasah kepekaan kita lebih tajam lagi.
Nyatanya empati dan kepedulian mengapung di tengah-tengah keguncangan masyarakat oleh bencana alam yang menimpa saudara-saudara di NAD dan sekitarnya. Goyangan bumi dan gulungan Tsunami yang menggoncang jiwa, menyemaikan kepedulian yang (mungkin) mulai terasah.
Simpati dan empati berdatangan dari segala penjuru. Pundi-pundi amal cepat terisi, kendati hampir semua media massa menyediakan wadah. Ungkapan belasungkawa dan empati mengalir tiada henti, disertai isak dan tangis. Aksi penggalangan dana mencuat secara sporadis.
Di tengah-tengah keprihatinan bangsa ini, istilah gangguan stres pasca-peristiwa traumatik, cukup sering dibicarakan. Bagaimana guncangan jiwa akibat trauma membutuhkan pemulihan dalam jangka waktu relatif panjang. Karena keputusasaan paling mendominasi jiwa yang tergoncang.
Seakan hidup ini tiada harapan, sangat gelap lorong menuju setitik kecil harapan. Secepat munculnya harapan, secepat itu pula jiwa terpulihkan. Semoga rohaniwan dan masyarakat umum sepakat, harapan lahir dari suatu kepasrahan, pertobatan dan keyakinan yang kuat.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
Oleh: Rinny Soegiyoharto
|