Refleksi atas Tragedi Bangsa
Oleh: Thomas Koten
Wednesday, Dec. 29, 2004 Posted: 12:56:02PM PST
Bencana alam kembali mengguncang negeri seribu pulau. Kali ini, 26 Desember 2004, tragedi bangsa berupa gempa bumi disertai gelombang Tsunami menerjang Aceh, Nias dan beberapa daerah di Sumatera Utara.
Dampak gelombang Tsunami juga dirasakan warga Sri Lanka, India, Thailand, Maladewa, dan Bangladesh dengan mencatat jumlah korban lebih dari 15.000 orang. Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 5.000 orang meninggal. Sebuah gempa bumi yang dikatakan terbesar dunia selama 40 tahun terakhir.
Bila dihitung sejak gempa bumi-Tsunami di Flores, Desember 1992, hingga kini, entah sudah berapa banyak gempa bumi terjadi di negeri ini, yang kejadiannya hampir secara merata di seluruh Tanah Air. Sebut saja belum lama ini terjadi juga di Alor, NTT dan di Nabire, Papua. Belum lagi terhitung bencana alam lain berupa letusan gunung api, hujan lebat-banjir yang diikuti tanah longsor, badai dahsyat yang diikuti angin kencang, musim kering berkepanjangan, mewabahnya berbagai jenis penyakit, dan lain-lain.
Selain itu pula bencana atau tragedi lain pun sebenarnya tidak kalah tragisnya menerjang bangsa kita, sebut saja kecelakaan helikopter pada 23 Desember 2004, di Wonosobo yang menewaskan 14 prajurit TNI. Bahkan belum lama ini juga terjadi kecelakaan pesawat milik Lion Air di Bandara Adi Sumarno, Solo.
Muncul pertanyaan gugatan di sini, apa salah dan dosa bangsa ini, sehingga terus-menerus ditimpa berbagai prahara yang sangat memilukan ini?
Apa indikasi di balik fenomena alam yang mengerikan ini? Tulisan ini ingin mengantarkan kita kepada sebuah refleksi yang lebih luas cakupannya terhadap berbagai peristiwa di atas. Sebuah refleksi kritis di tengah glorifikasi (pemujaan; pengagungan) manusia atas berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang terus berkembang saat ini.
Apa pun ujung dari berbagai fenomena alam tersebut, bila ditelaah dari sudut yang lain, semua kejadian itu tentu memiliki keterkaitan dengan sifat-sifat alam dan segala sesuatu yang bertalian dengan itu.
Timbulnya berbagai bencana alam, sebenarnya telah memberi isyarat tertentu tentang adanya suatu ketidakberesan yang amat serius dalam ruang lingkup keharmonisan, baik antarmanu- sia sendiri maupun antarmanusia dengan alam sekitarnya.
Bahwasanya, antara manusia dan manusia, antara manusia dan alam, merupakan konfigurasi yang memiliki kesetiakawanan hidup (solidarity of life). Karena itu, ada sesuatu hal yang tampak di antara sejumlah problematik yang kian terasa urgensinya dalam era modern ini, yaitu hal-ikhwal yang berkenaan dengan penghormatan manusia terhadap manusia lain dan manausia terhadap lingkungan alam sekitarnya dan usaha memelihara keseimbangan interaksi antara manusia dan manusia lain, dan antara manusia dan alamnya.
Apa yang terjadi dengan berbagai bencana alam khususnya, dan juga wabah penyakit, di era peradaban modern ini yang sering dikatakan bahwa manusia adalah penguasa alam serta pengendali evolusi sejarah, ternyata masih tidak berdaya ber- hadapan dengan kekuatan alam.
Maka, pendapat seperti Francis Bacon (1567-1626), tentang firdaus yang hilang di awal sejarah bisa diciptakan kembali oleh manusia sendiri lewat aktivitasnya sendiri, yakni melalui ilmu dan teknologi, seolah tidak berlaku lagi. Kita sepakat, modernisasi telah memberikan kenyamanan, kemudahan dan keberhasilan dalam banyak aspek kehidupan manusia.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|