Natal dan Monumen Organik Pluralisme
Oleh: Zaenal Abidin EP
Tuesday, Dec. 28, 2004 Posted: 1:09:01PM PST
Perayaan Natal yang diperingati setiap 25 Desember senantiasa memberi gambaran dan sekaligus harapan akan kehidupan hari esok yang lebih cerah. Hal ini dapat disimak dari pesan Natal itu sendiri yang menyiratkan datangnya kedamaian dalam rajutan tali kasih sayang di antara umat manusia.
Dalam konteks Indonesia, Natal telah menjadi bagian penting dari realitas konkret di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Ia ada berdampingan dengan hari-hari besar agama-agama lainnya dan membentuk mozaik begitu rupa, yang semakin menegaskan rupa warna ekspresi keagamaan bangsa Indonesia.
Hari Raya Natal mengemukakan adanya satu sisi dimensi dari susunan satu bentuk dimensi polygon yang ada dan tumbuh bersama di Tanah Air tercinta. Setiap sisi dimensi menyokong dan memperkokoh keseluruhan bentuk dimensi demi tercapainya keutuhan yang di- impikan bersama.
Karena sifatnya yang telah menjadi satu dimensi dalam membentuk modal kultural bangsa Indonesia, tak pelak kehadiran Hari Raya Natal layak direnungkan bersama. Artinya, Natal bukan hanya klaim umat Kristiani saja, meski mengikuti struktur teologis memang demikian, tetapi juga yang lebih penting bagaimana peristiwa kelahiran Yesus dua puluh satu abad silam ini menjadi fenomena pembelajaran bagi umat manusia seluruhnya tanpa meraba punggung agama atau keyakinannya. Yaitu, sebuah penelusuran untuk menyingkap tabir dan menemukan makna kedamaian dan kasih sayang yang tanpa batas.
Lahirnya Kedamaian
Pesan yang tersembunyi di balik Natal, sesuai pesannya adalah bagaimana mela-hirkan dampak selanjutnya, yakni lahirnya sebuah kedamaian. Apalagi di negeri yang kerap muncul istilah-istilah salah kaprah, kata damai malah kerap ditendensikan kongkalikong antara dua belah pihak dalam menyelesaikan perkara hukum, sehingga damai yang sejati makin sulit terlihat.
Kata damai juga semakin mahal seiring dengan datangnya ancaman terorisme di beberapa kawasan yang masih terus terasa. Kota Poso dan Palu, akibat insiden penyerangan gereja beberapa waktu lalu, kini masih belum kondusif. Begitu pula setiap menjelang Natal, setidaknya beberapa tahun ini suasana selalu dihangatkan dengan kekhawatiran adanya aksi brutal para teroris yang terang-terangan menjadikan gereja sebagai target sasaran.
Kini pun malah semakin nekat saja para teroris melakukan sabotase dalam menebar ancaman dengan mengincar nyawa orang-orang terkenal yang menentang kelaliman.
Para teroris ini jelas tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama, sebab dalam setiap agama anjuran yang paling mulia adalah menciptakan kedamaian di antara sesama. Sungguh mulia orang-orang yang menganjurkan dan menciptakan perdamaian di mata setiap agama.
Tidak satupun agama yang menentang perdamaian, lebih-lebih menganjurkan perang. Seringkali yang terjadi, peperangan dilakukan oleh manusia yang sudah ditimbuni nafsu berkuasa dan menguasai sesamanya. Ajaran agama tak lagi diindahkan dan dikembalikan ke kotak besi yang dikunci rapat-rapat untuk kemudian suatu saat diambil simbol-simbolnya saja demi tujuan menuntaskan nafsu berkuasanya.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|