Masih Ada Terang Bersinar
Oleh: Benny Susetyo Pr
Monday, Dec. 27, 2004 Posted: 12:41:31PM PST
Angin baru pemberantasan korupsi di negeri ini perlu direspons positif. Ada semangat baru untuk memperbaiki diri bangsa ini. Tetapi harus kita ingatkan kepada semua pihak agar gerakan menangkapi koruptor ini bukan hanya ”pemanis lidah” saja.
Di lapangan masih sering kita lihat hambatan-hambatan upaya untuk memberantas penyakit korupsi ini. Mereka yang akan ditangkap, justru sudah mencium gelagat buruk yang akan menimpa dirinya, dan dengan berbagai alasan mereka melarikan diri, ke negeri antahberantah. Ironisnya, ada oknum yang disangka membantu para koruptor menyelamatkan diri. Mereka tak memahami bahwa korupsi adalah raja dari segala penyakit di negeri ini, yang telah memerosokkan jati diri bangsa ini ke dalam jurang kegelapan yang paling dalam.
Maka dari situlah kita saat ini merayakan Natal di tengah situasi bangsa yang sedang berharap-harap cemas akan adanya perubahan yang lebih baik. Kita merayakan Natal di tengah ketidakpastian akan segala hal yang menyelimuti negeri ini. Kita bertanya, apakah usaha ini bisa dihindarkan dari sinisme yang menyatakan bahwa ini hanya kegiatan sporadis dan langkah-langkah memberantas korupsi ini hanya untuk pemanis gebrakan dalam 100 hari pemerintahan saja?
Korupsi terjadi ketika uang menjadi semacam ”dewa” bagi elite bangsa ini, dan kita semakin pesimistis tak mampu lagi mengangkat bangsa ini untuk memiliki kebesaran dan memperjuangkan peradaban. Perabadan politik telah digantikan oleh kekuatan uang yang luar biasa. Ia menentukan segala hal, bahkan dari moralitas hingga harga diri.
Masih Ada Harapan
Maka dalam Natal ini kita bertanya, masih adakah harapan untuk melakukan perubahan? Dan perubahan seperti apa yang dihendaki oleh elite-elite bangsa ini?
Dalam Natal kali ini kita bersedih karena sebagian (besar) elite bangsa kita telah gelap mata, dan itu membawa akibat mata hati kemanusiaan terlindas oleh naluri mencari kepuasan dan kekuasaan semata. Ada yang merasa puas bila dia bisa membuktikan, ”Sekarang aku paling jagoan.” Ada yang merasa puas bila dirinya merasa, ”Aku yang paling benar.” Dan pada akhirnya, ada yang merasa puas bila, ”Semua orang harus takut kepadaku.” Maka kita merasakan hari demi hari negeri ini tak memiliki tuan. Sebab tuannya adalah uang.
Manusia negeri ini kini telah mengalami kelumpuhan mata hati akibat pendidikan yang menempatkan uang sebagai satu-satunya pemecah masalah. Realitas penderitaan yang kini dialami anak negeri ini, sering kita pertanyakan apakah memang sebagai bagian dari nasib dan takdir yang tak terelakkan?
Apakah ini bagian dari kutukan karena sebagian (besar) para pemimpinnya lebih menyukai menjadi pembohong, pembual, penipu dan pemfitnah? Mengapa negeri ini selalu dirundung nestapa dan penderitaan?
Benarkah apa yang dikatakan Pengkhotbah (5:16) ”Telah mengeluh bahwa manusia sepanjang umurnya berada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesusahan, penderitaan dan kekesalan.” Apakah yang dikatakan oleh Pengkhotbah merupakan cerminan dari bangsa ini yang tak pernah putus dirundung penderitaan?
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|