Refleksi Natal: Ketika Allah Mengosongkan Diri-Nya
Oleh: Andreas A Yewangoe
Saturday, Dec. 25, 2004 Posted: 9:24:00AM PST
Apa sesungguhnya yang terlintas dalam pikiran kita setiap kali merayakan Natal? Tidak terhindarkan yang selalu menonjol adalah segi-segi glamornya. Betapa tidak. Lihatlah berbagai persiapan yang dilakukan.
Setiap rumah tangga sudah mulai merencanakan bagaimana dan ke mana merayakan Natal. Baju baru, sepatu baru, bahkan juga penampilan baru, dipersiapkan dengan baik. Yang sudah merencanakan libur, memesan hotel-hotel, baik di dalam maupun di luar negeri. Pusat-pusat perbelanjaan pun tidak kalah gesitnya. Harga-harga dikemas begitu rupa, dalam aksesori Natal yang meriah. Mahal memang, tetapi kapan lagi beli kalau bukan sekarang? Adapun reaksi orang, emangnya gue pikirin?
Dan, tokoh yang satu ini, Santa Claus (atau selalu dikacaukan dengan Sinterklaas-nya Belanda!), tidak ketinggalan menjadi penyedap perayaan, kendati ia tidak punya sangkut-paut apa pun dengan Sang Anak yang lahir di Betlehem. Belum lagi pohon-pohon Natal yang meriah. Setiap tahun hutan-hutan harus merelakan pohon-pohon pinusnya ditebang, yang tentu saja bukan merupakan contoh yang baik bagi pelestarian lingkungan. Lagu-lagu Natal yang syahdu dikemas begitu rupa dalam berbagai kaset dan (V)CD yang tidak murah. Berbagai pesta diselenggarakan di hotel-hotel berbintang dengan sejumlah artis kenamaan.
Perayaan di gereja-gereja pun tidak kalah meriahnya. Begitu memasuki bulan Desember, perayaan Natal langsung dimulai. Sedemikian rupa, sehingga minggu-minggu adventus kehilangan maknanya. Padahal, justru dalam minggu-minggu itu kita mestinya mengintrospeksi diri, sambil terus-menerus mengaktualisasikan kedatangan kembali Kristus. Sesungguhnya, tanpa minggu-minggu adventus, perayaan Natal hanya menjadi semacam resepsi ulang tahun biasa, kendati lagu Malam Kudus masih dilagukan, dan "lilin redup" masih dinyalakan.
Makna Natal
Tetapi, apakah memang salah melakukan persiapan dan perayaan seperti itu? Tentu saja tidak terlalu salah, asal saja kita tidak menggeserkan makna Natal hanya kepada hal-hal yang bersifat pesta, apalagi kalau segi-segi konsumeristisnya begitu menonjol.
Apakah makna Natal kalau begitu? Natal adalah ketika Allah mengosongkan diri-Nya sendiri. Ungkapan itu tidak berasal dari saya. Rasul Paulus yang mengungkapkan misteri Natal itu dengan sangat padat. Kepada jemaat perdana di Kota Filipi, Paulus katakan begini: "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia." (Fil 2:7).
Dalam keyakinan kristiani, Yesus Kristus adalah Allah sendiri yang menjelma menjadi manusia. Ini hampir tidak masuk akal, apabila kita mengingat bahwa Allah adalah cukup dan penuh di dalam diri-Nya. Sebagai demikian, Ia tidak membutuhkan apa pun dan siapa pun. Tetapi, justru yang tidak logis menurut pemikiran manusia itulah yang dilakukan Allah.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|