Dia Datang Membawa Terang Sejati
Oleh: Benny Susetyo Pr
Saturday, Dec. 25, 2004 Posted: 9:23:47AM PST
Natal adalah momentum baru untuk memaknai hidup dan kehidupan ini. Merayakan Natal berarti menyambut Sang Fajar baru yang datang membawa terang dunia, menerangi kegelapan yang diakibatkan perilaku buruk manusia.
Penderitaan yang dialami sebagian rakyat kecil diakibatkan perangai elite yang tercermin dalam sikap arogan, mau menang sendiri, dan tak mau tahu atau belagak bego dengan kondisi yang ada. Kemiskinan dan kemelaratan dijadikan objek politisasi berbagai kepentingan yang bukan diperuntukkan rakyat.
Itulah yang membuat wajah Indonesia dalam persimpangan jalan: antara ada dan tiada. Dalam realitas sosial-politik-ekonomi kita penuh dengan kebusukan moral, kejahatan terbuka dan terselubung, yang mencerminkan rusaknya sendi hidup. Bangsa ini memasuki kekaburan dalam berbagai level kehidupan. Tak heran kalau banyak di antara kita yang merasa hidup di negeri ini seperti hidup di negeri tanpa masa depan.
Di tengah situasi serba sulit, elite politik hanya sekadar mencari uang dan kekuasaan. Uang dan kekuasan itulah yang membuat bangsa ini linglung dan tak berdaya menghadapi matinya nalar kemanusiaan. Elite lebih suka memikirkan diri dan kelompoknya sendiri daripada memikirkan penderitaan rakyat.
Itulah cermin sebagian besar elite pejabat kita. Mereka menjadikan rakyat sebagai objek untuk kepentingan diri pribadinya saja. Mendekati pemilu seolah-olah mereka semua pro rakyat, dekat dengan petani dan nelayan, menawarkan berbagai program perbaikan. Isu yang dilempar dikemas sepopulis mungkin agar rakyat merasa bahwa dirinya benar-benar pro-rakyat. Setelah itu? Kita sudah rasakan bersama saat ini.
Sekarang rakyat sudah tersadar bahwa kebanyakan mereka pembohong. Politik adalah arena adu kekuatan untuk saling berbohong satu sama lain. Politik hanya bermakna intrik untuk menjatuhkan lawan, bukan sebagai media untuk secara bersama-sama mengentaskan berbagai problem kemanusiaan bangsa.
Jadi apa makna Natal kita kali ini?
Para elite politik hendaknya semakin banyak belajar dari kemelaratan rakyatnya. Ingatlah bahwa rakyat selalu bersyukur atas anugerah hidup di dunia ini, meskipun kerap dijepit kebijakan yang tidak adil. Mereka tegar menghadapi pola kebijakan yang tidak memihak terhadap mereka. Mereka masih bisa tertawa meskipun rumah mereka hampir roboh. Sebab dalam diri rakyat ada solidaritas sosial dan rasa setia kawan yang begitu mendalam.
Allah akan hadir dalam diri orang yang sederhana, karena mereka adalah empunya Kerajaan Allah. Seperti dikatakan Yesus, "Berbahagia engkau yang miskin karena engkau pemilik Kerajaan Allah." Kemiskinan seharusnya menjadi pelecut elite untuk memberi daripada menerima.
Tapi kenyataannya, kesadaran untuk membangun bersama-sama dan memfokuskan kebijakan untuk mengentaskan masyarakat miskin seolah tidak ada. Elite hanya sibuk dengan dirinya sendiri, dan memperhatikan rakyat di kala perlu.
Maka dalam titik itu makna Natal kita kali ini, hendaknya kembali pada Sang Terang yang sejati. Dia datang dalam rupa yang hina dina untuk menjadi diri kaum tertindas. Dia merasakan derita kaum tertindas sebagai suara Allah sendiri yang berseru di padang gurun.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|