Bukan X-Mas
Oleh: BS Mardiatmadja, SJ
Saturday, Dec. 25, 2004 Posted: 9:23:35AM PST
Saya menerima tulisan bagus dengan syair yang intinya: "Bukan X-mas". Penulis itu mengkritik bahwa orang biasanya memotong tulisan Christmas menjadi X-mas. Mungkin ada yang akan menegur penulis itu, seakan-akan orang tidak memahami licentia poetica (penyair kan bebas memotong kata, seperti Christmas menjadi X-mas) atau tidak mengerti "bahasa jurnalistik" (yang memotong kata untuk 'menarik perhatian' pembaca).
Tetapi saya sendiri merasa, bahwa syair itu sangat tepat. Memang sekarang banyak kartu Natal yang menggunakan singkatan X-mas. Kerap orang sudah tidak tahu lagi, X itu artinya apa. Sebab diteruskan dengan "Selamat Liburan" atau "Happy Holiday" atau "Season's Greetings ..." dan seterusnya.
Penulis syair itu menegur kita semua, karena kartu itu mengganti 'Christmas' dengan 'X-mas', maka kartu itu menghapus kata 'Christ', yaitu hal yang paling elementer dan sekaligus paling mendasar dalam Natal, yaitu "Kristus", yang artinya "Terurapi" atau "Messiah". Tanpa kata-dasar ini sebenarnya Natal sudah tidak mempunyai makna.
Lalu dapat kapan pun saja dirayakan, tidak ada masalah kalau mau ditambah atau dikurangi jumlah liburnya, seperti sering dilakukan oleh pemerintah Indonesia akhir-akhir ini.
Kita memang juga sudah memperpanjang-lebarkan masa Natal dengan memulainya memenuhi pasar-pasar dan pusat-pusat perbelanjaan yang memperdengarkan lagu natal dan hiasan natal, jauh sebelum tanggal 25 Desember.
Tidak sedikit perusahaan dan kantor yang sudah merayakan Natal sejak awal bulan Desember. Alasan yang dikemukakan, ini kan hanya simbol dan kelahiran Tuhan sudah 2000 tahun yang silam. Selain itu, ada alasan lain yaitu sekitar 25 Desember atau menjelang akhir tahun banyak orang yang akan sibuk ini itu, kantor tutup dan seterusnya.
Justru karena itulah, saya kira teguran teman kita di atas sangat tepat. "Bener kan. Semua hanya di batin saja, bahkan jangan-jangan memang iman itu tidak ada, sebab hanya fantasi saja lah Natal itu". Yang terpenting liburnya, yang utama nyanyi dan pestanya; yang paling berarti bagi negara ya banyaknya uang atau devisa masuk karena tempat-tempat hiburan atau liburan padat dengan pengunjung.
Semua itu kan hanya alat untuk kepentingan ekonomi dan politik. "Ya bener lah, agama itu kan memang hanya alat ekonomi dan politik". Jadi, "Back to square one": kembalilah kita ke zaman, ketika Yesus datang dan mengusir para penjahat dari halaman Kenisah kare-na mengotori "Rumah BapaKU".
Tentu saja kita perlu menghadap Tuhan dengan pakaian bersih - syukur kalau juga harum. Tentu saja kita pantas memuliakan Tuhan karena Ia mau hadir di antara kita. Tetapi sangatlah miskin, kalau Natal justru dirayakan dengan jutaan rupiah tetapi tanpa "Kristus", hanya sekadar dengan "X-mas" dan liburan serta hiburan. Buat apa ada Natalan, dan penghormatan pada Hari Natal kalau sejak akhir November dan awal Desember kita sudah ber-natal-ria.
Kalau hanya soal batiniah belaka, mengapa kita tidak memperingati kelahiran Yesus itu di bulan Agustus saja? Tanggal kan hanya lambang. Lalu apa gunanya kisah menurut Matius 1-2 dan Lukas 1-2, yang jelas sekali meletakkan kelahiran Yesus pada konteks sejarah yang sangat tertentu.
Next Page: 1 | 2 |
|