Mewaspadai Teror Bom di Hari Natal
Oleh: Weinata Sairin
Sunday, Dec. 19, 2004 Posted: 3:39:59PM PST
Gangguan terhadap pelaksanaan ibadah, terutama sekali ibadah umat Krisitiani, bukanlah hal yang sama sekali baru. Sekitar empat puluh tahun yang lalu, di daerah pinggiran Ibu Kota, gangguan pelaksanaan ibadah gerejawi secara konkret dialami oleh penulis. Pada saat-saat umat melantunkan lagu-lagu pujian, atau pada saat-saat pembacaan Alkitab, rumah penulis, tempat ibadah dilaksanakan sering dihujani dengan batu-batu kerikil.
Kondisi seperti itu tentu saja amat mengganggu kekhusukan ibadah. Kekristenan memang dianggap sebagai sesuatu yang asing, yang dibawa ke Indonesia oleh para penjajah sehingga kehadirannya di tengah masyarakat sering tidak disukai. Melalui pendekatan dan pengembangan sikap persaudaraan secara terus-menerus, pada akhirnya kondisi tersebut dapat berakhir.
Di berbagai wilayah di Tanah Air dengan berbagai varian gangguan-gangguan seperti itu kerapkali dialami oleh gereja-gereja. Jemaat-jemaat Gereja Kristen Pasundan misalnya, pernah mengalami gangguan yang amat besar pada masa-masa lalu; ada gereja yang dibakar, ada pendeta yang dibunuh, ada eksodus besar-besaran warga jemaat di daerah ke Ibukota karena tak tahan mengalami penderitaan akibat kekristenan mereka. Gangguan seperti itu secara substantif tetap berlangsung hingga saat ini walau kemasannya telah jauh berbeda.
Gangguan terhadap pelaksanaan ibadah mengalami "kemajuan pesat" seiring dengan perkembangan zaman. Di era modern sekarang ini, ketika demokratisasi makin mengemuka, pemilikan senjata api yang relatif mudah dan adanya pengaruh global maka gangguan terhadap pelaksanaan ibadah (gereja) tidak lagi terbatas pada pelemparan batu-batu kerikil, tetapi dengan menggunakan senjata api dan bahkan bom.
Gangguan pelaksanaan ibadah terjadi jika rumah ibadah yang digunakan belum memiliki izin sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1969, berikut peraturan turunannya yang amat variatif di berbagai daerah. Pelaksanaan ibadah di rumah tinggal, atau di ruko dipahami masyarakat sebagai sesuatu yang illegal karena bertentangan dengan SKB 1969 itu.
Sementara untuk memperoleh izin pembangunan gedung gereja bukan sesuatu yang mudah; prosesnya berbelit-belit dan memakan waktu bisa antara 5 hingga 10 tahun, bahkan lebih. Realitas ini yang mendorong banyak pihak untuk meminta pemerintah mencabut SKB 1969 itu karena dinilai diskriminatif dan menyerahkan pembangunan rumah ibadah (baca:gereja) kepada belas kasihan kelompok umat beragama lain.
Penugasan Presiden kepada Menteri Agama untuk mengkaji SKB 1969 hingga kini belum ada tindak lanjutnya; sementara itu Sidang Raya XIV PGI di Kinasih akhir November 2004 yang lalu mendesak agar ketentuan perundangan yang diskriminatif, termasuk SKB 1969 harus dicabut.
Pada tanggal 6 Juni 2004, empat gedung gereja diserbu oleh segerombolan orang yang tak bertanggungjawab. Tanggal 18 Juli 2004, telah terjadi penyerbuan terhadap jemaat GKST Effata di Palu yang sedang melakukan ibadah dan Pdt Susianti Tinulele tewas ditembak. Kemudian 12 Desember 2004, dua gereja, yaitu GKST Anugerah dan GKST Immanuel di Palu dibom.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|