Natal, Dasar & Dorongan ke Arah Perbaikan

Oleh: Sutarno

Sunday, Dec. 19, 2004 Posted: 3:39:35PM PST

Pesan Natal be
rsama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI, Katolik) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI, Protestan) untuk tahun 2004 diberi judul "Allah, Sumber Pengharapan Dunia". Judul tersebut tidak hanya merupakan inti atau ringkasan dari suatu uraian, melainkan lebih dari itu, suatu ungkapan iman dan keyakinan keagamaan yang sangat dalam dan mendasar. Apalagi kalau ungkapan tersebut lahir dan dikemukakan di tengah-tengah suasana dan situasi kehidupan, yang dirasakan dan dinilai penuh dengan tantangan serta persoalan yang mengakibatkan berbagai kesengsaraan dan penderitaan.

Dengan tegas pesan KWI-PGI menyebutkan bahwa kehidupan manusia dewasa ini sedang dilanda krisis etika akibat berkembangnya semangat materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Pada gilirannya, semangat materialisme, konsumerisme dan hedonisme tersebut telah mendorong dan menyulut keserakahan atau obsesi manusia terhadap kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan kenikmatan.

Dalam hubungan ini dapat kita tambahkan suatu gejala lain yang juga muncul, yaitu instantisme atau keinginan untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya melalui jalan pintas. Karena orientasi sepenuhnya di letakkan pada hasil, maka soal jalan atau cara tidak dipermasalahkan lagi. Yang penting, tujuan dapat dicapai, dan keinginan terpenuhi! Demikianlah yang berlaku adalah semboyan "tujuan menghalalkan cara". Berbagai kekacauan dan kesemrawutan perilaku dan hukum yang kita amati dan rasakan sekarang ini juga merupakan akibat langsung dari praktik falsafah instantisme tersebut.

Dengan sangat tepat Pesan Natal Bersama KWI-PGI menyimpulkan bahwa akibat dari keserakahan yang tak terkendali itu, banyak pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok dalam masyarakat kita yang menjadi tega mengeksploitasi sesamanya dan menguras alam lingkungan habis-habisan, demi kepentingan mereka sendiri. Demikianlah maka KKN juga semakin merajalela tanpa sanksi hukum yang jelas dan konsisten. Dalam ini semua, dapat disaksikan betapa martabat manusia telah dilecehkan melalui pelbagai tindakan kekerasan dan diskriminasi.

Diperhadapkan dengan kenyataan itu, pertanyaan kita yang segera muncul ialah kapan hal-hal negatif yang merugikan dan menyengsarakan bagian terbesar dari rakyat kita itu akan berakhir? Atau lebih menyedihkan lagi, apakah hal-hal negatif yang merugikan dan menyengsarakan banyak orang itu benar-benar akan dapat ditiadakan?

Mengamati perkembangan situasi yang ada, termasuk dengan telah terpilihnya pimpinan negara dan terbentuknya pemerintahan yang baru, harapan akan terjadinya perubahan-perubahan nyata yang mengarah ke perbaikan mendasar dan radikal, masih belum muncul. Tentu saja kita menyadari, bahwa perubahan-perubahan yang diinginkan dan diharap-harapkan itu tidak mungkin terjadi dalam "semalam" atau bahkan "seratus hari".

Namun, tanda-tanda ke arah itu setidak-tidaknya harus sudah mulai tampak satu per satu, meski belum nyata benar. Tanda-tanda yang muncul malahan sering masih menampakkan gejala-gejala yang sama saja dengan apa yang terjadi sebelumnya: tidak konsistennya ucapan dan perbuatan dari para pemimpin; ketidakmampuan pejabat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk seperti komitmen sempit akibat "utang budi" terhadap kawan sendiri dan golongan sendiri, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih luas; konflik kekerasan bernuansa SARA yang masih terus berlangsung di mana-mana, meski ruang lingkup dan kadarnya berbeda-beda; fenomena penyelesaian berbagai sengketa dengan ancaman kekerasan dan tindakan pengrusakan; dan sebagainya, dan seterusnya.

Next Page: 1 | 2 | 3 |