Waktunya Menyudahi "Kekerasan Rohani" Gereja
Oleh: Stevanus Subagijo
Friday, Dec. 3, 2004 Posted: 4:13:08PM PST
Oleh: Stevanus Subagijo
(Penulis adalah peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta)
Markus Rani dalam tulisannya Jabatan Jangan Jadi Tujuan Akhir (Pembaruan, 20/11) mengkritisi Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang sedang berlangsung saat ini di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor. Inilah sidang raya yang pertama kali dalam sejarah PGI (DGI) dalam kondisi dipercepat, dari jadwal seharusnya 2005.
Jika sinyalir begitu mendesaknya sidang ini dilakukan karena adanya wanprestasi atau bahkan "malapraktik" Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, harapan atas Sidang Raya dipercepat ini semoga tidak menghasilkan keputusan yang juga "dipercepat" karena kuatnya dorongan dan keinginan terakomodasinya kepentingan-kepentingan yang bisa jadi konfliktual. Dikhawatirkan keputusan-keputusan yang dilahirkan dalam kondisi prematur, hasilnya bakal mentah kembali.
Tulisan ini tidak hendak menukik ke dalam probleminternal PGI sebagai citra kesatuan tubuh Kristus di mana "Paulus menanam-Apolos menyiram". PGI tidak kekurangan anak-anak Tuhan yang mempunyai urapan dan hikmat dengan perekat kasih untuk menyelesaikan ganjalan yang ada. Katakanlah, optimisme-imaniah, paling tidak harus menjadi dasar PGI atas sidang ini.
Satu hal yang patut dititipkan untuk sebuah Sidang Raya yang dipercepat ialah mendesaknya PGI dalam mengambil sikap terhadap fenomena spiritual abuse atas nama gereja yang kini sangat terasa. Dalam bahasa Indonesia terjemahan bebas yang paling cocok untuk spiritual abuse ialah kekerasan rohani.
Perpecahan gereja, 'perang dingin' antar-gereja, alergi antar-hamba Tuhan, kebingungan jemaat, dengan akibat makin jauhnya pendewasaan rohani yang meneladani Kristus, adalah suara yang lantang terdengar dari balik gereja.
Kekerasan mana telah mengakibatkan mereka yang 'terpanggil' berada di jalan simpang, menuai kepahitan hati orang-orang percaya dan tentunya melukai hati Allah sendiri sebagai subjek yang paling utama untuk gereja layani. Kekerasan rohani telah menjadi empedu pelayanan dengan imbasnya kemana-mana yang berseberangan dengan harapan gereja sebagai terang dan garam.
Gereja seyogyanya tetap menyulih suara Yesus, "Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Matius 11:28). Menarik bahwa 'berbeban berat' (heavy laden) dalam istilah asli Yunaninya berasal dari kata phortizo yang berarti to overburden with ceremony (or spiritual anxiety) (David Henke, 1996).
Gereja hendaknya menjadi pusat yang membebaskan 'orang percaya' dari pseudoritual dan kecemasan rohani, yang ironisnya justru gereja sendiri tanpa sadar telah menciptakannya.
Spiritual abuse yang pertama kali diperkenalkan oleh Jeff Van Vonderen menurut David Henke berarti salah pakai, malapraktik atas kekuasaan, kepemimpinan atau pengaruh yang dimiliki dalam gereja. Kekuasaan, kepemimpinan dan pengaruh atas kuasa Ilahiah dalam gereja disadari atau tidak sering hanya untuk memuaskan kepentingan sendiri diatas kepentingan orang lain yang lebih patut ditolong.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|